Tuesday, April 30, 2013
Monday, April 1, 2013
Delapan Puluh Dua Hari
Kita hanya terpisah delapan puluh dua hari, bukan
bertahun-tahun dan ber kilo-kilo meter seperti hitungan lazim. Kalau tak
percaya, lihat saja kalender lantas hitung dengan perspektif berbeda. Kita
hanya terpisah delapan puluh dua hari bukan? Di jam ini. Di hari tanggal bulan
dan tahun ini kita hidup bersama-sama. Hanya saja kita seperti dua buah mata,
yang hidup bersama tapi tak pernah melihat satu sama lain, juga seperti
sepasang telinga yang dekat namun tak bertemu satu sama lain. Itu sebabnya aku
berkata bahwa kita hanya terpisah delapan puluh dua hari, karena aku dan kau
sama-sama hidup di waktu yang sama, dan jarak tak akan pernah menjadi oposisi
untuk menentang teori ini.
Kalau begitu, adakah sebenarnya kita sangat dekat namun
seperti sepasang telinga yang ditakdirkan untuk tidak pernah bertemu? Mungkin.
Aku tak akan berkecil hati, karena kita hanya terpisah delapan puluh dua hari,
kita tetap hidup bersama-sama hingga perpisahan yang semutlak-mutlaknya terjadi.
Aku tak perlu lagi resah, karena jika Ia mengizinkan, kelak
kita akan seperti sepasang tangan yang jika ingin bertepuk maka tak bisa dengan
terpisah-pisah. Kita akan seperti sepasang paru-paru atau ginjal yang hanya
akan berfungsi dengan sempurna jika bersama-sama dan berdampingan.
Kau tahu, bunga dan daun adalah kolaborasi yang serasi.
Semoga kitapun bisa begitu, menjadi serasi karena ketaatan pada-Nya. Menjadi
sebaik-baiknya kolaborasi dengan ridho-Nya.
Aku tahu, aku tak berhak menerka-nerka. Namun, ketika entah
karena apa cita-cita ini sampai padamu. Tak ada salahnya kan aku sedikit berharap?
Tuesday, March 19, 2013
Agustus di Bulan Juli (Catatan 25 Juli 2009)
Masih dengan aku dan malamku. Setelah beberapa hal mengecewakan yang terjadi siang tadi, aku masih berfikir atas apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar-benar kejadian yang tak di inginkan? Atau justru ada unsur kesengajaan yang membumbuinya. Ok, mungkin hal itu bukanlah topik utama yang aku paparkan di sini. Hal itu hanyalah sebagian kecil dari alur hidup yang selalu terjadi berulang-ulang tanpa ku tahu apa sebenarnya yang tersembunyi di belakangnya.
Hari ini hari Sabtu, tepat 23 hari dari 19 tahun yang aku lewati.
Seperti biasa, aku hanya menjelajah memori semampuku. Terkadang berlari
ke masa depan, dan lebih sering merangkak ke masa lalu. Apalagi dengan
keadaanku sekarang yang belum sepenuhnya pulih dari sakit yang kurang
lebih seminggu aku derita. Bukan suatu yang berbahaya memang, namun aku
hanya ingin memaparkan seberapa dalam memori beberapa bulan lalu
menguasai akal sehatku dalam kondisi yang boleh di katakan jauh dari
keteguhan raga yang baik.
Agustus lagi. Selalu Agustus tahun lalu yang memaksaku kembali
mengingat sosok itu. Lelah memang, namun terkadang ku merasa bahagia,
karena aku tak harus beranjak keluar memandang langit. Untuk apa? Jika
bintang itu memang berada di hatiku dan aku bisa merasakan Agustus
setiap saat. Lagipula, udara malam ini terlalu dingin jika ku harus
beranjak ke luar dengan peluang bintang itu ada hanya beberapa persen.
Malam ini aku lebih memilih duduk di depan komputer yang cd mother
boardnya belum berhasil aku temukan hingga tak menghasilkan suara
sedikitpun. Mungkin hanya bunyi sendok beradu dengan piring yang
menemaniku saat ini, sambil sesekali menyuapkan isinya ke mulutku yang
masih terasa pahit. Maklum, di kota-kota besar seperti halnya Bandung,
suara hiruk pikuk jangkrik sudah tergantikan oleh suara bising kendaraan
yang menurutku tak syahdu seperti ketika sepasang jangkrik
bersahut-sahutan saling membagi kabar gembira di siang hari.
Ku terima. Walaupun tak sampai 15 menit suara sendok dan piring
berhenti menemani kesendirianku. Kadang ketika ku bosan dengan winamp
yang ber volume nol di komputerku, ku cek layar di handphoneku. Namun,
tak ada suatu pemberitahuan. Yang ada hanya gambar wallpaper spongebob
yang sepertinya tersenyum ke arahku.
Aku mulai bosan. Lantas ku gerakan joystick handphoneku yang juga
semakin sulit di ajak berkompromi. Ku buka facebook. Ah dia lagi. Aku
memang butuh dia, tapi apa tak lebih baik jika saat ku buka facebook ku,
yang pertama ada dan yang pertama ku lihat adalah secarik pesan dari
sosok Agustus tahun laluku. Ku rasa itu lebih bisa membuat ku bahagia.
Tapi entahlah, karena malam ini aku melihat dia begitu kagum akan
sesuatu yang tidak ku ketahui.
Ku putuskan untuk kembali ke Agustus. Melihat sosokku yang pergi
meninggalkan gubug yang menjadi tempat di mana aku bisa berhembus untuk
pertama kali. Berat memang, tapi ketidaksejalanan hati dan akal sehat
yang sempat aku alami di sana memaksaku untuk tetap pada pendirianku,
hidup mandiri dan berusaha mengubur dalam-dalam apa yang menjadikan hati
dan akal sehatku tak berjalan berdampingan. Dan berhasil. Sosoknya
hadir menggantikan. Walaupun semakin hari hal itu semakin menambah
problematika yang ada.
Begitulah. Tak seistimewa yang ku alami memang. Ketika dunia
memanjakanku akan harapan atas banyak persamaan. Namun ada satu yang
berbeda, yakni mimpi. Mimpinya yang ada di hulu, sementara aku berada di
hilir, dan tak mungkin dengan posisinya yang lebih tinggi dariku, aku
bisa mengalirkan mimpi ke arahnya.
Sudahlah, mungkin memang semua itu cukup menghiburku. Bagaimana
tidak, sampai Agustus tahun ini pun aku masih berada pada posisi di mana
aku hanya bisa memandang langit sembari sesekali berfikir bahwa itu
adalah suatu hal yang nilai kerasionalannya nol, namun tak pernah ada
niat untuk mengubahnya menjadi sepuluh, seratus, atau mungkin lebih dari
itu. Sebab sesuatu yang nol lebih memiliki tingkat konsistensi akan
kelipatannya. Aku percaya itu, aku percaya akan rencana kehidupan yang
terbingkai dalam lipatan kertas.
Wednesday, March 13, 2013
Perempuan...
Kita hanyalah perempuan, yang terbelit banyak aturan. Maka
sungguh, ada hal-hal yang tidak sepatutnya kita mulai kendatipun kita ingin, kendatipun
kita tak sabar hati untuk memulai. Teman, aku bukan tidak paham dengam emansipasi,
tapi aku hanya tidak ingin mengaplikasikan istilah itu dengan hal-hal berlebihan
sehingga menjadi pembenaran dari perkara yang tidak sepatutnya kita lakukan.
Kau tahu mengapa? Karena kehormatan adalah harga mati yang
tak bisa di tawar-tawar lagi. Bahkan hal itu menjadi salah satu dari empat
syarat seorang perempuan dapat menghuni tempat terindah-Nya.
“Ah, kamu berlebihan.” Sanggahmu. Adalah hakmu menilai aku
bagaimana. Namun, tak ada yang ku sesali dari sikapku. Kau tahu bukan, aku
bahkan pernah menyiapkan sekian banyak burung-burung kertas yang nantinya akan
menjadi simbol untukku menyatakan sesuatu. Namun Ia
sungguh tak pernah datang terlambat untukku. Ia menghentikan burung-burung
kertas itu di hitungan kesekian dan menyadarkanku bahwasanya ada hal-hal yang
tidak seharusnya kita utarakan, sebut saja perkara hati. Dan kau tahu
kelanjutannya bukan? Selang beberapa bulan, hal itu hanya menjadi kisah yang
kadaluarsa. Aku tak lagi ingin mengutarakan, karena perkara hati itu sudah
selesai. Maka beruntunglah aku teman. Bayangkan saja jika waktu itu aku nekat
mengutarakan.
Intinya, ini hanya tentang bagaimana kita bertahan. Aku
mengerti sungguh berat bertahan untuk tidak mengungkapkan apa yang ingin kita
ungkapkan. Terlebih jika kenyataan menghadirkan warna hitam pekat yang selalu
membuat hati ini berkabung. Tapi teman, memutuskan untuk bertahan akan jauh
lebih indah ketimbang beralibi akan emansipasi untuk mencari pembenaran.
“Buktinya kamu sendiri tidak bahagia kan dengan pilihanmu untuk bertahan dan
tetap diam?” Kau masih saja menyanggah. Tapi kau salah, aku bahagia dengan
kebertahanan ini. Meskipun seringkali aku tak sabar hati, tapi dengan aku masih
berada di tempat ini, itu artinya aku masih sanggup bertahan.
Aku yakin, akan ada skenario terindah dari-Nya tanpa harus
aku yang memulai. Pun seandainya skenario itu tidak pernah terjadi di dunia,
kebertahanan itu akan menjadi skenario terindah saat kita pulang, saat tiba
waktu kita kembali.
Maka ya Rabb, janganlah biarkan kami resah akan skenariomu
itu. Karena ada hal yang jauh lebih patut untuk kami resahkan, yakni ke tempat
mana kami akan kembali. Biarkan kami tenggelam dalam penghambaan kami pada-Mu
ya Rabb, agar kami mendapat tempat kembali yang indah. Aamiin…
Teman, bagaimana kabarmu hari ini?
“Apa yang sudah aku putuskan ini benar Win.” Beberapa kali
aku memutar ulang rekaman suara dalam memoriku. Dan yang ku ingat Winda
menjawabnya dengan kalimat-kalimat brilian. “Tidak ada kebenaran yang mutlak di
hidup ini May. Kamu hanya tinggal lupakan keputusan itu, maka kamu tidak akan menyesal.”
Berkali-kali aku mencoba mencerna kalimat-kalimat itu. Dan kau tau Win, kau
harusnya merasakan sendiri, tidak adil rasanya kalau kau hanya berteori.
Sejak hari itu, aku memang melebur menjadi serbuk-serbuk
halus yang terombang ambing, yang rapuh oleh gemuruh, bahkan bisa menghilang
begitu saja hanya dengan satu tiupan sopan. Waktu tak merubah apapun. Aku masih
saja menyalahkan waktu, padahal aku sendiri yang tak mau beranjak, aku sendiri
yang lebih memilih berjalan mundur.
Waktu itu aku memang tak berfikir panjang mengambil
keputusan, tapi seandainya pun hari ini aku masih belum memutuskan apa-apa, itu
tidak akan merubah apapun. Tidak akan merubah ketidakpeduliannya padaku.
“Tapi Win, aku boleh kan
sesekali ingin tahu keadaannya?”
“Tentu saja boleh, aku akan dengan senang hati
memberitahukannya padamu, atau mungkin kamu ingin bertanya langsung padanya.”
Jawab Winda. Tentu saja tidak.
Aku tidak akan seberani itu bertanya langsung. Ada banyak hal yang tidak
harus dilakukan dengan verbal, termasuk hal ini. Memang hanya sekedar bertanya
kabar, namun semua itu akan dengan ajaib luruh tanpa meninggalkan kesan apapun.
Dari pada begitu kan
lebih baik aku menginvestasikan pertanyaan-pertanyaan itu dalam sebuah doa agar
hasilnya berkali-ksli lipat. Ya aku selalu percaya akan keajaiban doa.
Di tempatku, saat ini pukul 5 pagi. Ya ampun, aku tidak tidur
semalaman ternyata. Bagaimana pula aku bisa tidur sementara bagian-bagian tubuh
ini terpisah. Hatiku ada di setahun yang lalu saat aku menyadari ada hal yang
tak biasa terjadi, otakku ada di sebulan yang lalu saat aku dengan setengah
mantap menggenggam keputusan itu, tanganku menggapai-gapai harapan yang
tergantung tinggi di atas sana, kakiku merangkak-rangkak mencari pembenaran
atas keputusan yang telah aku buat. Tidak kompak dan sangat berantakan. Lantas
bagaimana mungkin aku bisa tidur sementara bagian-bagian tubuh ini tak sinkron
berfungsi.
Embun pagi berkali mengetuk-ngetuk hati. Memamerkan
butirannya yang bersih. Menorehkan satu kesan dibenakku bahwasanya hidup masih
menawarkan kebaikan. Aku hanya perlu menciptakannya. Seperti embun yang tak
perlu mencari kedamaian, karena ia menciptakannya sendiri dari bulir-bulirnya
yang terjatuh sempurna. Akupun bisa terjatuh dengan indah bukan? Dan pagi
seperti biasa tak pernah membawa kabar darinya.
Teman, bagaimana kabarmu hari ini?
Sunday, February 24, 2013
Intuisi
Intuisi ini berkata.. Akan ada yang berbeda. Bahkan sejak
hari pertama. Di ruangan tak berpembatas itu akhirnya aku setengah menyimpulkan
sesuatu. Aku terbiasa pergi ke dunia khayal tanpa pamit, bahkan ketika di
sekitarku banyak teman yang sehrusnya lebih ku acuhkan, karena mereka itu
nyata. Tidak seperti intuisi-intuisi yang kerap kali aku ciptakan sendiri.
Entah mengapa hari itu aku mudah sekali berfikiran yang
tidak-tidak. Dari sekali berjabat tangan, mata ini menjelajah jauh. Aku melihat
dia di msa depan, walau entah akhirnya akan seperti apa. Apa ini sebuah
kelainan? Aku bisa merasakan masa depan, walau tak tahu jelas akan seperti apa.
Wajah itu menunduk, dan rasa-rasanya orang dengan gelagat
seperti itu akan mencari pola-pola lantai untuk ia telusuri dengan jari-jari
tangannya karena tak tahu harus melakukan apa. Apa asumsiku ini benar? Tentu
saja iya, walaupun masih ada kemungkinan untuk meleset sedikit. Lalu aku harus
menyimpulkan apa lagi untuk seorang yang sekedar perkara berjabat tanganpun
harus aku yang memulai.
Esoknya… Duhai, intuisi ini benar-benar menyita perhatianku.
Yang ada di kepalaku sekarang hanyalah rasa ingin tahu yang menyala-nyala.
Keinginan untuk mencari tahu sosok yang selalu terkukung oleh stagnasi itu.
Siapa dia? Bagaimana dia? Tapi kenapa pula aku begitu tertarik untuk mengetahui
kehidupan pribadinya. Intuisi ini kuat sekali. Aku benar-benar melihat dia di
masa depan, tapi bagaimana jadinya akupun tidak tahu.
Ah, ini tidak boleh berlangsung lama. Rasanya tidak etis
ingin tahu kehidupan pribadi seseorang apalagi orang yang baru dikenal. Anggap
saja intuisi ini sebuah penyakit, karena akupun tak bisa memastikan akan
terjadi apa di masa depan.
Hari berganti hari, penyakitku yang sempat kumat mulai
sembuh. Aku tak lagi ingin tahu tentang orang itu, tidak lagi menerka-nerka
bagaimana ia di masa depan. Karena sekarang kita berteman baik, sangat baik.
Dia sosok yang menyenangkan, perlahan dia mulai berontak dari keadaan stagnan
yang membelitnya. Saat aku tanya mengapa ia memutuskan untuk berubah, ia
menjawab “Sebenarnya inilah saya, kemarin-kemarin bukan saya.” “Loh,
kenapa begitu?” Aku balik bertanya, tak mengerti. “Aku membaca
keadaan terlebih dahulu, baru menentukan akan menjadi apa” Jawabnya.
Aku kecolongan. Selama ini akulah yang dikenal sebagai sosok
yang tak mudah ditebak, misterius. Tapi, predikat itu sekarang dia yang lebih
pantas menyandangnya. Jadi apa arti intuisi-intuisiku selama ini? Ah, rasanya
malas aku mengungkapnya, toh nyatanya dia lebih hebat dari aku dalam menyembunyikan
sesuatu.
Waktu bergulir. menyiratkan banyak kisah, termasuk kisahnya
yang telah berubah perilaku setelah ia membaca keadaan. Akupun perlahan lupa
dengan intuisi-intuisi itu. Karena kali ini aku konsentrasi pada hal lain,
membuat intuisi-intuisi tersebut terabaikan. Biarlah, kesimpulannya ia teman
dekat yang sangat baik. Selalu membawa keceriaan dari hari ke hari.
Suatu hari ia datang padaku, membawa satu kalimat simbolisasi
dari bertambahnya usiaku hari ini. Bagaimana ia bisa tahu kalau hari ini hari ulang
tahunku? Setelah sekian lamanya aku melupakan ritual tahunan itu. “Tidak
ada yang berulang dan tidak ada yang bertambah. Jadi kamu tidak perlu bilang
selamat ulang tahun.” Aku menyeringai membuat ia bingung.”Kenapa?
Kamu tidak suka ulang tahun?” Ia bertanya, penasaran. “Bukan
begitu. Aku memang terbiasa untuk tidak mengistimewakan sesuatu. Buatku, ini hanya
hari Senin, tidak kurang dan tidak lebih.” Jelasku mantap, membuatnya
semakin bingung. Yes!! aku berhasil menjadi sosok misterius lagi setelah sekian
lama predikat itu ia curi dariku. Namun hari ini tak seperti biasa, ia seharian
berada di tempatku. Biasanya hari libur begini ia pergi dengan perempuan
pilihan hatinya.
“Aku dan Shila sudah putus?” Ujarnya datar. “Hah! Sejak
kapan?” Kini giliran aku yang terkejut, bingung. “Sejak hari ini.”
Kembali ia menjawab datar. Aku tidak melihat raut penyesalan barang sedikit
dari mimik wajahnya. “Kenapa?” Aku bertanya lagi, penasaran.
Walau aku tak pernah bertemu Shila secara langsung, dari cerita-ceritanya aku
bisa menyimpulkan kalau Shila perempuan yang baik, tapi kenapa ia sampai hati
meninggalkannya? “Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa padanya. Jadi untuk
apa dipertahankan.” Jawaban yang sama sekali tidak membuatku puas hati.
Aku mencoba mencari-cari jawaban dari raut wajahnya, dari kernyitan dahinya,
dan dari fluktuasi gerak alisnya. Nihil, aku tidak menemukan apa-apa selain
gesturnya yang banyak berubah. Dulu, saat pertama bertemu, ia tak banyak
tingkah dan cenderung stagnan. Kenapa orang yang satu ini begitu mudahnya
berubah?
“Pokoknya dia lebih cantik, lebih pintar, dan lebih
segala-galanya dari kamu.” Ia meledekku persis ketika aku penasaran dengan sosok Shila
yang hampir setiap hari ia ceritakan. Aku sempat melihat fotonya, dan aku rasa
ia benar. Shila sosok yang sempurna. Sekarang dengan mudahnya ia melepaskan
kesempurnaan itu, benar-benar absurd.
Waktu beranjak senja, dan ia masih betah berkutat dengan
komputer jadulku sambil sesekali mengajakku berdialog. Mengklik sana sini tidak
jelas. Membuka file-fileku yang tak rapi ku simpan. Iseng-iseng membacanya.
Jiwanya seperti melayang, tak berada di tempat. Tapi aku urung bertanya. Karena
setiap pertanyaan yang aku lontarkan, akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan
baru di benakku. Jadi rasa-rasanya aku malas bertanya-tanya lagi. Ah, dia
memang merepotkan.
“May, temani aku makan yuk.” Dalam situasinya yang boleh dibilang
berkabung, ia bahkan masih ingat makan. Orang aneh, absurd, susah di tebak.
Sial, predikat itu kembali padanya. “Kenapa melamun. Ayo kita makan.”
Ia membuyarkan lamunanku. “Karena kamu ulang tahun jadi kamu yang traktir
ya.” “Sudah ku bilang ini cuma hari senin. Tidak ada yang
berulang, dan tidak ada yang bertambah.” Aku berkata kesal, dan ia
hanya tersenyum simpul. Bagaimana bisa kita dikatakan berteman baik, kalau
kenyataannya aku masih sulit ia tebak, dan ia masih sulit untuk aku tebak.
Tapi tunggu dulu. Apa ini ada hubungannya dengan
intuisi-intuisi itu? Ah, kenapa aku jadi memikirkannya lagi. Bukannya aku sudah
lama melupakannya? Baiklah, tidak ada yang perlu difikirkan. Tidak perlu
berkutat hebat bertanya-tanya ada apa dengan dia di masa depan. Dia ya dia. Dia
begini adanya, sudah cukup.
Wednesday, February 20, 2013
Sebagian yang Tertinggal
Di pintu ini, aku sudah siap dengan koper-koperku. Ini
terlalu larut untukku memutuskan pergi. Namun, apa lagi yang pantas di tunggu
jika semua yang terjadi memaksaku untuk tidak lagi bertahan.
"Kamu yakin May." Tanya Winda. Aku mengangguk mantap.
Siapapun tak kan
ada yang tahu, bahwasanya apa yang terjadi di hati selalu berbeda. Begitupun
dengan hatiku saat ini. Tapi biarlah, aku memang tidak akan bisa mendesak
sebagian hati untuk pergi bersamaku malam ini. Tapi aku masih memiliki sebagian
yang lain bukan? Dengan ini lah aku akan hidup. Dengan ketidaknormalan, aku
sungguh tidak menemukan kata yang lebih layak lagi.
Hidup dengan sebagian hati tidak akan jauh berbeda jika
dibandingkan hidup dengan sebelah tangan, sebelah kaki, ataupun sebelah mata.
Siklus hidup akan terasa lambat sekali berjalan, jauh lebih lambat dari
orang-orang yang mempergunakan kedua tangan, mata, ataupun kaki. Tidak normal
bukan? dan aku rasa 'ketidaknormalan' adalah hiperbolik yang paling sopan untuk
mendeskripsikan keadaanku saat ini dan nanti setelah aku pergi dari tempat ini.
"Kamu tidak memberitahu dia lebih dulu? Ya walau
bagaimanpun dia adalah satu-satunya alasan dari setiap hal yang kamu
lakukan." Aku
merenungkan kata-kata Winda. Dia memang harus tahu tentang kemenyerahan ini, tentang
pilihanku untuk menjalani hidup dengan ketidaknormalan. Jika sudah begini,
siapa yang akan disalahkan. Aku berlebihan bermimpi tentangnya, sementara dia
pun berhak menentukan keberlanjutan hidupnya.
Sebenarnya selama ini ia mengartikanku apa? Bukankah dia tak
pernah bicara? Ia hanya berkata dari keseolah-olahan yang ku simpulkan sendiri dari
perubahanya, dan kesimpulan itu berujung pada pilihanku malam ini. Malam dimana
aku memilih untuk melanjutkan hidup dengan ketidaknormalan. Malam dimana aku
akan meninggalkan sebagian hatiku disini, karena ia tak mau dipaksa untuk ku
ajak pergi.
Angin dingin menampar-nampar jendela. Membuatnya tak punya
pendirian, menutup membuka, menutup lagi, membuka lagi. Namun perilaku jendela
yang tergoyahkan angin malam ini sama sekali tak merubah apapun yang terjadi dalam
hati, begitupun dengan keputusanku untuk pergi malam ini.
Travel yang aku pesan lama sekali datangnya. H min sekian
dari tahun baru memang selalu begini, travel penuh dan jalanan macet hingga aku
harus menunggu berjam-jam seperti ini. Lalu bagaimana kalau dia keburu datang?
Apa yang akan aku katakan padanya perihal kepergianku malam ini. "Ah,
tapi apa ia akan peduli."
Dari dekat aku melihat Winda sudah mulai terkantuk-kantuk.
posisi duduknya oleng kemana-mana. Ia nampak lelah seharian membantuku
mempersiapkan kepergian ini. Winda teman sekaligus tetangga yang baik. Padahal
kami belum lama bertetangga. Ini karena aku terlalu terbuka menceritakan dia
pada Winda.
"Win, lebih baik kamu pulang. kelihatannya kamu sudah
lelah." "Tidak May, aku akan menemanimu sampai travelnya datang.
" "Percayalah padaku Win, ini bukan terakhir kalinya kita akan
bertemu. Jadi pulanglah." Aku mencoba membujuknya lagi. Kali ini berhasil. Setelah
mengucapkan kata selamat jalan, ia pun pulang ke rumah kontrakanya, mengunci
pintu dengan sempurna. Winda memang selalu begitu.
Tinggallah aku sendiri di temaram ini. Mencoba mereka ulang
banyak hal. Terlalu banyak sejarah yang terukir, namun lebih banyak lagi
kepastian-kepastian yang mengambang, tidak jelas. Waktu menunjukkan pukul
22.30. Tapi travel yang ku pesan tak juga datang. Yang datang malah yang lain. Takdir
benar-benar memberinya kesempatan bertemu denganku untuk terakhir kalinya
sebelum aku pergi.
"Kamu mau pergi kemana?" "Aku mau pulang." "Kembali lagi kan?" Aku menggeleng. Ada kediaman beberapa detik setelah kalimat
terakhirku itu mencuat. Tapi ini rasanya lama sekali, berpuluh-puluh jam. "Ayo bicaralah. Kau terlalu lama diam. Terlalu sering
berpura-pura. Terlalu tidak peka." Gumamku.
"Kenapa? Kamu tidak betah disini?" Lagi-lagi aku menggeleng. Kini
giliran aku yang banyak diam, dan dia yang banyak bicara. Ternyata balas dendam
itu menyenangkan juga.
"May." Kali ini ia menatapku tajam. Tatapan yang sulit untuk ku
artikan. Tapi, jika aku boleh berasumsi, tatapan itu seperti sebuah
pengharapan, keinginan agar aku tidak pergi. Boleh kan sesekali aku gede rasa?
"Kamu tahu kan, aku tidak suka sendirian, dan selama ini
aku merasa sendirian." "Siapa
bilang. Ada aku disini, kamu tidak sendirian." Ia menjawab cepat. Baru kali ini aku
merasa ia cepat menanggapiku. Ia tepat waktu untukku. Ia menatapku lebih tajam
dari sebelumnya.
"Jangan pergi May." Ia berusaha membujukku. Namun aku
masih diam, karena kali ini aku memang harus diam, bukan karena aku ingin
membalas dendam, tapi... Sungguh aku menikmati ia yang tak lagi diam, sungguh
aku tak ingin melewatkan satu hurufpun yang keluar dari pita suaranya untuk tidak
alpa di telingaku.
Goresan-goresan hitam semakin memenuhi malam, namun kali ini tak
membuat wajah legamnya kabur termakan malam. Wajahnya penuh binar harap. Ya
Tuhan, apa itu artinya ia telah kembali setelah sekian lama ia menghindariku?
Saat ini mungkin saja aku mengembalikan kata-katanya malam
itu. Bertanya apakah ia nyaman hanya berdua denganku seperti ini. Tapi sungguh,
aku tidak akan pernah melakukan itu, membalas dendam pada seseorang yang ku
titipkan sebagian hatiku padanya.
Dari kejauhan, nampak sebuah kendaraan tengah merapat di dekat
warung mie biasa tempat aku dan dia nongkrong. Sopirnya keluar, nampaknya
menanyakan sebuah alamat pada penjual mie disana. Apa mungkin itu travel yang
aku pesan?
"Aku harus pergi. Travelku sudah datang." "Jadi kamu benar-benar akan pergi?" Ia menatapku lagi. Kali ini dengan
sedikit berembun di pelupuk mata. Wajah legamnya terlihat memanas, dan.... Ah,
aku tidak mau menatapnya lagi. Menatapnya hanya akan membuatku kehilangan
pendirian, hanya akan membuatku plinplan. Sekarang aku harus harus pergi, aku
tak mungkin membiarkan sopir travel itu mengumpat-ngumpat dalam hati jika harus
menungguku terlalu lama setelah berjam-jam ia terjebak macet.
"May, kamu akan kembali kan?" Lagi-lagi ia mencoba menahanku. Aku
berfikir sejenak. Apa aku harus mengurungkan niatku? Apa ia benar-benar sudah
kembali padaku, menjadi seseorang yang selama ini aku kenal? Apa ia tidak akan
berubah lagi? Bukankah omongan laki-laki itu sesuatu yang hiperbolik, selalu
berlebih dari kenyataannya. Tapi.... Ah, aku butuh waktu. Sungguh butuh waktu. "May..."
Kalimatnya menggantung. "Kamu akan kembali kan?" "Aku tidak tahu..."
Tuesday, February 12, 2013
Pintu yang Terbuka...
Asap
mengepul serupa kabut, menyembul dari knalpot yang sekian detik lalu masih
menyisakan dia di hadapanku. Walau begitu, aku tak serta merta berlalu dari
halaman rumah kontrakanku. Aku suka berdiam diri, mengingat kembali punggung
itu beberapa detik sebelum pergi. Lalu wajahnya berbalik mengucapkan sepotong
salam yang ku jawab kaku. Wajah legam yang sebenarnya tak jelas terlihat karena
berpadu dengan malam yang juga gelap.
Puluhan
kaki menghentak, menerabas kelelahan akibat kejamnya rutinitas, dan aku berada
asing diantara hentakan-hentakan itu. Pada dasarnya aku dan puluhan hentakan
kaki itu sama, harus merelakan waktu-waktu berharga terpangkas rutinitas, lalu
kembali ke rumah larut malam saat semua hal sudah tidak menyenangkan untuk
dilakukan. Bedanya, mereka lebih mantap untuk menutup pintu saat merasa lelah
karena tak ada lagi yang perlu di tunggu. Sementara aku tidak.
"Sedang
apa di luar? Tidak masuk ke dalam rumah?"
Seseorang menyapaku, membuyarkan imagiku. "Eh, iya mbak. Saya baru
mau masuk ke dalam rumah." Jawabku sedikit gugup. Orang itu baru
beberapa hari mengontrak di samping rumah kontrakanku dan tidak tahu kebiasaan
tak lazimku sepulang dari rutinitas panjang ini.
Aku dan
orang itu masuk ke rumah kontrakan masing-masing. Dalam hitungan 2, aku mendengar
pintu kontrakan tetangga baruku sempurna di kunci. Sementara pintuku masih
terbuka. Ya, ini ritualku setahun terakhir. Membiarkan pintu ini terbuka, lalu
sekitar pukul 23.00 ia akan kembali
untuk menepati janjinya.
"May,
kita dekat sekali ya. Seperti..."; "Seperti apa?" Tanyaku
penasaran. "Seperti...."
Aku menunggu kalimat itu sempurna menggelincir dari pita suaranya
dengan hati membuncah. "Seperti kakak adik." Jawabnya
sedikit ragu. Buncahan-buncahan
itu meluluh, menggelincir dari atas air terjun ke muara. Menyisakan mimik
wajahku yang tertegun, berusaha merangkai kalimat-kalimat tadi kembali untuk
akhirnya akan ku buang dan tak akan ku ingat lagi.
Laki-laki
memang begitu, tidak peka. Bukankah selama ini banyak sekali malam yang tidak
kita habiskan seorang diri? Bukankah sudah terlalu banyak dialog yang kita
goreskan? Bahkan sudah tidak tepat lagi jika disebut sebagai dialog. Akan lebih
tepat disebut sebagai sinetron striping yang episodenya panjang berlarut-larut.
Tapi itu semua baginya belum cukup menjadi alasan untuk menarik konklusi yang
istimewa.
Tapi
tunggu dulu. Apa tadi ia bilang? 'Adik'.. Rupanya aku salah paham. 'Adik'
adalah sebuah predikat yang tak mengenal kata 'bekas'. Adik adalah sebuah
ikatan darah yang tak seorangpun bisa membantah dan memutuskannya. Oh, alangkah
istimewanya aku ia anggap sebagai seorang adik. Meskipun sebenarnya aku lebih
bahagia lagi jika...... “Ah, sudahlah.”
Bulir-bulir
hangat mengalir di pipiku. Ini sudah larut sekali, hampir pukul 02.00 dinihari,
dan pintuku masih terbuka. Aroma dingin semakin menyengat, menggelitik
sendi-sendi yang mulai kaku karena beku. Warung mie tempat biasa kita nongkrong
pun terlihat sudah tutup. Rupanya ini memang sudah terlalu malam. Tapi aku tak
akan menutup pintuku sebelum ia sampai.
Sebulan
terakhir, ia memang jarang singgah di pintuku. Bahkan hampir tak pernah. Lembur
lah, ini lah, itu lah. Aku tak habis fikir dengan orang-orang yang pasrah
dengan rutinitas yang menelan kebebasan mereka. Bukankah waktu 24 jam tersedia
untuk melakukan banyak hal? Tapi hampir semua orang memilih untuk melakukan
satu hal saja dalam waktu yang jika dikonversikan ke dalam ukuran milisekon,
nominalnya akan sulit diucapkan.
"May,
belum tidur?" Seseorang menghampiri pintuku. "Belum
Jos. Mana yang lain?" Tanyaku. "Masih di kantor.";
"Lebih baik kamu tidur, tutup pintunya. Dia tidak akan pulang."
Jos berlalu meninggalkanku. Selama ini, Jos tak pernah peduli padaku. Baru
ketika melihat pintuku terlalu lama terbuka, ia seperti merasa kasihan
melihatku selalu menunggu yang tak pasti datang.
Lantas,
sekarang apa yang aku tunggu? Aku tidak mungkin membuka pintu sampai pagi hari
tiba. Malam ini terlalu beku untukku menunggu, terlalu konyol untukku tetap
membuka pintu.
Malam
berikutnya, aku tak melihat siluet punggungnya berlalu meninggalkan asap
knalpot yang mengepul memerihkan mata. aku tak melihat wajah legamnya yang
remang berpadu dengan malam mengucapkan salam kearahku, dan aku pun tak
menjawab apa-apa. Singkatnya, ia tak mengantarku pulang hari ini. Itu artinya,
malam ini ia akan pulang cepat.
Ku buka
pintuku sedikit lebar dari biasanya. Dingin, tapi sepertinya aku mulai terbiasa
dengan kebekuan ini. Biasanya ia tak langsung menyambar pintu kontrakannya,
lantas mengurung diri di dalamnya. Tapi, ia pasti datang padaku, singgah di
pintuku berlama-lama, kemudian dialog-dialog itu bergulir membentuk
episode-episode panjang yang siap di tayangkan di layar kaca. Rasanya jika itu
terjadi, kita berdua pasti sudah kaya raya dan tidak perlu mengontrak karena
bisa membeli rumah sendiri.
Jadi
bayangkanlah, betapa dekat hubungan kita. Namun sayangnya, ia
mengkamuflasekannya dalam predikat 'kakak adik'. Tak ingin menyadari bahwa
semua hal ini terlalu berlebihan dengan predikat itu.
Hampir
satu jam aku menunggu di dekat pintu yang terbuka. Aku kerahkan seluruh energi
mataku untuk menangkap bayangannya. Menyelidik bak detektif. Semoga dari radius
sekian meter aku dapat mendeteksi kedatangannya lebih awal. Namun nyatanya
tidak. Terlalu banyak melamun membuat informasi dari mata terlambat di transfer
ke otak, hingga akupun terlambat menyadari bahwa kini kepulan asap itu tengah
merapat di depan rumah kontrakannya.
Aku
beringsut masuk, menghilang ke belakang pintu yang masih terbuka. Manusia
kadang aneh, jika sesuatu tak ada di cari, namun jika ada malah sembunyi. Tapi
bukan itu alasanku. Jika ia peka, ia akan mengerti dengan hanya aku membuka
pintuku sedikit lebih lebar. Sayangnya, laki-laki memang tidak pernah peka.
Aku
melihat sekian meter di sebrang rumah kontrakanku ia mengeluarkan sesuatu
berbahan kuningan dari saku celananya. Ini yang aku benci, ini yang terjadi
sebulan terakhir. Ia tak singgah di pintuku, dan lebih memilih berada di rumah
kontrakannya semalaman tanpa semua kebiasaan kita. Lalu aku biasanya akan
membiarkan keadaan itu berlangsung sampai pagi harinya. Berkutat dengan
asumsi-asumsi negatifku sendiri. Membiarkan kedua pintu kita terbuka tanpa ada
yang mengalah masuk ke salah satunya. Namun, entah setan apa yang merasuki
fikiranku malam ini. Dengan spontan aku beranjak meninggalkan pintuku yang
masih terbuka dan berlari menuju pintunya. Aku mengulang kebiasaannya mengucap
salam tiap kali wajah legamnya menoleh kearahku sebelum ia beranjak pergi.
"Tumben
kamu kesini May?" Tanya Jos. "Nggak bisa tidur
Jos." Sepertinya aku salah menjawab. Jos tahu persis kalau setiap
malam aku memang tidak bisa tidur karena selalu kedinginan dengan pintu yang
terbuka.
Tempat
ini terasa senyap. Jos sibuk dengan laptopnya. Sementara dia.....
Aku
mohon jangan katakan bahwa orang yang persis duduk di depanku ini sedang serius
membaca buku. Aku sangat tahu, ia tidak suka membaca buku. Dan apa yang ku
lihat sekarang? Ia lebih memilih membaca buku itu daripada menyapaku, jadi
kesimpulannya ia lebih tidak menyukai kehadiranku daripada membaca buku. Astaga…
Jos
cukup mengerti. Ia meninggalkan kami berdua di tempat itu. Dengan dia yang
masih lebih memilih buku itu, dan aku yang masih menunggu. Mengapa perempuan
hanya di takdirkan menunggu? Dalam keadaan ini aku ingin akulah yang
memutuskan, aku ingin akulah yang memulai.
"Kita
hanya berdua di tempat ini. Apa kamu merasa nyaman?" Kalimat
tanya itu begitu saja ia muntahkan, dan lazimnya jika kita melihat seseorang
muntah, kita akan merasa sesuatu menohok ulu hati, mual, dan kitapun ingin
muntah. Seperti aku sekarang yang rasanya ingin memaki-makinya agar aku tak
mual lagi. Tapi aku urungkan. "Itu gunanya kita membuka pintu. Jadi
untuk apa merasa tidak nyaman?" Aku membantah. "Memang…"
Kalimatnya menggantung. Matanya tetap tak beralih dari buku yang ia baca.
Tanpa
fikir panjang aku beranjak dari kediamanku. “Lebih baik aku pergi.
Sepertinya kamu yang merasa tidak nyaman.” Aku berlalu dari hadapannya
yang masih lebih memilih buku yang tidak ia sukai ketimbang aku. Berlari menuju
pintuku dengan mata basah. Aku tak tahu mengapa, yang pasti semuanya telah
berubah, dan bodohnya aku masih saja membuka pintuku semalaman hingga pagi
tiba, hingga malam menjelang lagi, hingga kepulan asap tak hanya memerihkan
mata namun juga memerihkan hati. Pintu itu masih saja terbuka hingga entah
kapan.
Wednesday, January 16, 2013
Dan Tentang Sebuah Kemewahan...
Hampir tiga belas bulan. Dan aku masih hilang. Kali ini
ingin sekali aku merangkak ke hari itu. Hari yang istimewa. Malam termewah
sepanjang hidupku. Bagi sebagian orang, kemewahan adalah ketika bagian-bagian
tubuh mereka terbelenggu oleh puluhan kilogram perhiasan. Bagi sebagian yang
lain, kemewahan berarti dapat membeli semua hal, dan itu artinya terbelenggu
oleh ribuan lembar materi. Bagiku kemewahan adalah ketika hal yang paling
berharga ada di dekatku, namun aku tidak terbelenggu olehnya.
Malam itu aku tidak sendiri, aku bersama seorang teman.
Menyapa malam, mengisi keheningan dengan beberapa butir obrolan. Lalu sesekali
terdengar gemericik angin menelusup berebut masuk ke dalam ruangan melalui
celah-celah jendela. Padahal aku sengaja tidak menutup pintu, dan angin-angin
itu seharusnya dapat dengan mudah masuk melewati pintu tanpa harus berebut
masuk lewat jendela. Ah, angin-angin itu seperti manusia saja, selalu
mempersulit diri padahal ada pilihan yang lebih mudah.
Perbincanganku dengan seorang teman itu berlanjut, namun
mendadak kaku. Ada banyak reaksi tanpa aksi. Jelas saja itu menyalahi teori
fisika dimana seharusnya reaksi ada ketika ada aksi. Namun dengan segala
kesalahan itu, akhirnya aku mengerti bahwa kekakuan dan reaksi-reaksi itu ada
untuk membawaku pada sebuah kemewahan tiada tara. Pada sebuah jeda waktu yang
kosong dimana ada banyak reaksi tanpa aksi, aku sempat melayangkan pandangan
pada beberapa sudut. Menikmati setiap goresan-goresan dinding yang tak rapi di
cat. Malam ini adalah malam terakhir untukku berada di tempat ini, dan aku
ingin memotret setiap kejadian yang pernah terjadi di dalamnya antara aku dan
satu hal itu, kemewahan.
Semakin malam, obrolanku dengan seorang teman itu semakin
rancu. Menurutku obrolan ini aneh, terlalu membawa-bawa emosi. Ia mengungkapkan
hal-hal yang seketika membuat hatiku berdesir hingga merasakan kemewahan itu.
Ya, dalam sebuah jeda dan buncahan hati yang entah itu desiran apa, aku berani
berkata bahwa kemewahan adalah ketika aku duduk bersisian dengan seorang teman
malam itu. Malam dengan banyak jeda yang hanya terisi oleh diam.
Wahai teman, kenapa harus begini? Kecambah-kecambah ini
tumbuh tanpa pernah aku menanamnya. Dan pada saat yang bersamaan aku harus
pergi. Meninggalkan banyak hal. Meninggalkan hatiku disana hingga hari ini.
Hingga tiga belas bulan berlalu. Apa kecambah-kecambah itu masih kau rawat
teman? Atau jangan-jangan sudah kau abaikan sepersekian detik setelah aku
pergi, atau mungkin kau tak pernah sama sekali tahu?
Di tempatku sekarang, di tiga belas bulan berlalu. Ada
banyak kebiasaan yang berubah. Satu perubahan terbesar adalah bahwa aku tidak
lagi melewati malam dengan seorang teman. Bahwa artinya aku tidak merasakan
lagi kemewahan itu ada.
Ada banyak keberhargaan disini, ditempatku. Saat aku
terbangun dari tidur dan mendapati secangkir teh di pagi hari, Saat aku masih
terjaga dan mendapati secangkir kopi di malam hari, lalu saat disekelilingku
ada banyak kejadian baik hati yang menawarkan secarik kemewahan. Semua hal itu
tak pernah membuatku merasakan kemewahan seperti malam itu, malam ketika aku
duduk bersisian dengan seorang teman.
Kemewahan itu hilang. Seorang teman itu tak akan pernah
kembali. Dan malangnya, hatiku masih tertinggal disana. Di tiga belas bulan
yang lalu. Di malam aku duduk bersisian dengan seorang teman. Malam itu.....
Aku rindu. Malam itu..... Ah, sudahlah.
Perbincanganku dengan seorang teman itu berlanjut, namun mendadak kaku. Ada banyak reaksi tanpa aksi. Jelas saja itu menyalahi teori fisika dimana seharusnya reaksi ada ketika ada aksi. Namun dengan segala kesalahan itu, akhirnya aku mengerti bahwa kekakuan dan reaksi-reaksi itu ada untuk membawaku pada sebuah kemewahan tiada tara. Pada sebuah jeda waktu yang kosong dimana ada banyak reaksi tanpa aksi, aku sempat melayangkan pandangan pada beberapa sudut. Menikmati setiap goresan-goresan dinding yang tak rapi di cat. Malam ini adalah malam terakhir untukku berada di tempat ini, dan aku ingin memotret setiap kejadian yang pernah terjadi di dalamnya antara aku dan satu hal itu, kemewahan.
Wednesday, January 2, 2013
Entah ini apa...
Ini bukan mengenai kesendirian, ataupun keterasingan. Karena dua kata itu sangat lekat dengan banyak malam yang aku lewati. Contohnya malam kemarin, atau malam kemarinnya lagi. Akupun tak keberatan dengan keberadaannya. Sendiri berarti kekuasaan. Menguasai keheningan, menguasai kehampaan, menguasai kebekuan. Lihat, bahkan tak ada satupun yang berani membantahku. Tak ada yang berani menjadi rivalku untuk menguasai malam ini. Ah, semuanya payah, tak punya nyali.
Terasing berarti kebebasan. Bebas melakukan apapun tanpa khawatir akan spekulasi. Siapa yang berani berspekulasi jika di malam ini aku terasing, tak ada yang mengenali?
Aku masih penasaran. Apa aku benar-benar sendiri? Apa aku benar-benar terasing? Karena sudah larutkah?! Aku melayangkan pandangan pada setiap jengkal ruangan ini. Menatap lebih teliti dari sebelumnya. Lantas pandanganku terhenti pada seekor hewan kecil. Malang sekali hewan itu, kehadirannya tak pernah disadari. Seperti aku yang terasing malam ini. Ah sudahlah. Bukannya aku tak akan membahas soal kesendirian ataupun keterasingan, karena dua hal itu sudah benar-benar menjadi sebuah kemutlakan.
Malam ini, ada banyak hal yang berkecamuk. Berbondong-bondong menyerang fikiran. Meronta meminta penyelesaian, sementara aku sedang tak ingin menanggapinya. Ah, semenjak destinasi ini berpindah hati bukankah aku selalu malas melakukan apapun? Rasanya jika aku punya mesin waktu, ingin sekali aku hijrah ke masa depan. Bertemu dengan kepastian. Memulai nol kehidupan dan banyak beribadah karena kelak di depan ada suatu masa yang menjadikan banyak perbuatan menjadi ladang ibadah.
Namun, apa aku akan berkesempatan bertemu dengan masa itu? Ataukah akan seperti ini saja? Ah, Dia yang paling tahu mana yang terbaik. Tak seharusnya aku merasa risau. Tak seharusnya aku merasa ragu akan kepastian. Sudah semestinya aku melakukan banyak hal untuk ketidakpastian. Mengumpulkan banyak bekal, beribadah lebih banyak.
Wahai Engkau, jauhkanlah aku dari risau hati. Jauhkan aku dari keraguan. Jika masih saja aku terperangkap dalam kecamuk hati, jadikanlah itu sebagai ladang ibadah. Jadikanlah itu sebagai jalan menuju ketidakpastian-Mu yang akan berujung indah, yang akan berakhir baik. Aamiin…
Subscribe to:
Posts (Atom)