Intuisi ini berkata.. Akan ada yang berbeda. Bahkan sejak
hari pertama. Di ruangan tak berpembatas itu akhirnya aku setengah menyimpulkan
sesuatu. Aku terbiasa pergi ke dunia khayal tanpa pamit, bahkan ketika di
sekitarku banyak teman yang sehrusnya lebih ku acuhkan, karena mereka itu
nyata. Tidak seperti intuisi-intuisi yang kerap kali aku ciptakan sendiri.
Entah mengapa hari itu aku mudah sekali berfikiran yang
tidak-tidak. Dari sekali berjabat tangan, mata ini menjelajah jauh. Aku melihat
dia di msa depan, walau entah akhirnya akan seperti apa. Apa ini sebuah
kelainan? Aku bisa merasakan masa depan, walau tak tahu jelas akan seperti apa.
Wajah itu menunduk, dan rasa-rasanya orang dengan gelagat
seperti itu akan mencari pola-pola lantai untuk ia telusuri dengan jari-jari
tangannya karena tak tahu harus melakukan apa. Apa asumsiku ini benar? Tentu
saja iya, walaupun masih ada kemungkinan untuk meleset sedikit. Lalu aku harus
menyimpulkan apa lagi untuk seorang yang sekedar perkara berjabat tanganpun
harus aku yang memulai.
Esoknya… Duhai, intuisi ini benar-benar menyita perhatianku.
Yang ada di kepalaku sekarang hanyalah rasa ingin tahu yang menyala-nyala.
Keinginan untuk mencari tahu sosok yang selalu terkukung oleh stagnasi itu.
Siapa dia? Bagaimana dia? Tapi kenapa pula aku begitu tertarik untuk mengetahui
kehidupan pribadinya. Intuisi ini kuat sekali. Aku benar-benar melihat dia di
masa depan, tapi bagaimana jadinya akupun tidak tahu.
Ah, ini tidak boleh berlangsung lama. Rasanya tidak etis
ingin tahu kehidupan pribadi seseorang apalagi orang yang baru dikenal. Anggap
saja intuisi ini sebuah penyakit, karena akupun tak bisa memastikan akan
terjadi apa di masa depan.
Hari berganti hari, penyakitku yang sempat kumat mulai
sembuh. Aku tak lagi ingin tahu tentang orang itu, tidak lagi menerka-nerka
bagaimana ia di masa depan. Karena sekarang kita berteman baik, sangat baik.
Dia sosok yang menyenangkan, perlahan dia mulai berontak dari keadaan stagnan
yang membelitnya. Saat aku tanya mengapa ia memutuskan untuk berubah, ia
menjawab “Sebenarnya inilah saya, kemarin-kemarin bukan saya.” “Loh,
kenapa begitu?” Aku balik bertanya, tak mengerti. “Aku membaca
keadaan terlebih dahulu, baru menentukan akan menjadi apa” Jawabnya.
Aku kecolongan. Selama ini akulah yang dikenal sebagai sosok
yang tak mudah ditebak, misterius. Tapi, predikat itu sekarang dia yang lebih
pantas menyandangnya. Jadi apa arti intuisi-intuisiku selama ini? Ah, rasanya
malas aku mengungkapnya, toh nyatanya dia lebih hebat dari aku dalam menyembunyikan
sesuatu.
Waktu bergulir. menyiratkan banyak kisah, termasuk kisahnya
yang telah berubah perilaku setelah ia membaca keadaan. Akupun perlahan lupa
dengan intuisi-intuisi itu. Karena kali ini aku konsentrasi pada hal lain,
membuat intuisi-intuisi tersebut terabaikan. Biarlah, kesimpulannya ia teman
dekat yang sangat baik. Selalu membawa keceriaan dari hari ke hari.
Suatu hari ia datang padaku, membawa satu kalimat simbolisasi
dari bertambahnya usiaku hari ini. Bagaimana ia bisa tahu kalau hari ini hari ulang
tahunku? Setelah sekian lamanya aku melupakan ritual tahunan itu. “Tidak
ada yang berulang dan tidak ada yang bertambah. Jadi kamu tidak perlu bilang
selamat ulang tahun.” Aku menyeringai membuat ia bingung.”Kenapa?
Kamu tidak suka ulang tahun?” Ia bertanya, penasaran. “Bukan
begitu. Aku memang terbiasa untuk tidak mengistimewakan sesuatu. Buatku, ini hanya
hari Senin, tidak kurang dan tidak lebih.” Jelasku mantap, membuatnya
semakin bingung. Yes!! aku berhasil menjadi sosok misterius lagi setelah sekian
lama predikat itu ia curi dariku. Namun hari ini tak seperti biasa, ia seharian
berada di tempatku. Biasanya hari libur begini ia pergi dengan perempuan
pilihan hatinya.
“Aku dan Shila sudah putus?” Ujarnya datar. “Hah! Sejak
kapan?” Kini giliran aku yang terkejut, bingung. “Sejak hari ini.”
Kembali ia menjawab datar. Aku tidak melihat raut penyesalan barang sedikit
dari mimik wajahnya. “Kenapa?” Aku bertanya lagi, penasaran.
Walau aku tak pernah bertemu Shila secara langsung, dari cerita-ceritanya aku
bisa menyimpulkan kalau Shila perempuan yang baik, tapi kenapa ia sampai hati
meninggalkannya? “Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa padanya. Jadi untuk
apa dipertahankan.” Jawaban yang sama sekali tidak membuatku puas hati.
Aku mencoba mencari-cari jawaban dari raut wajahnya, dari kernyitan dahinya,
dan dari fluktuasi gerak alisnya. Nihil, aku tidak menemukan apa-apa selain
gesturnya yang banyak berubah. Dulu, saat pertama bertemu, ia tak banyak
tingkah dan cenderung stagnan. Kenapa orang yang satu ini begitu mudahnya
berubah?
“Pokoknya dia lebih cantik, lebih pintar, dan lebih
segala-galanya dari kamu.” Ia meledekku persis ketika aku penasaran dengan sosok Shila
yang hampir setiap hari ia ceritakan. Aku sempat melihat fotonya, dan aku rasa
ia benar. Shila sosok yang sempurna. Sekarang dengan mudahnya ia melepaskan
kesempurnaan itu, benar-benar absurd.
Waktu beranjak senja, dan ia masih betah berkutat dengan
komputer jadulku sambil sesekali mengajakku berdialog. Mengklik sana sini tidak
jelas. Membuka file-fileku yang tak rapi ku simpan. Iseng-iseng membacanya.
Jiwanya seperti melayang, tak berada di tempat. Tapi aku urung bertanya. Karena
setiap pertanyaan yang aku lontarkan, akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan
baru di benakku. Jadi rasa-rasanya aku malas bertanya-tanya lagi. Ah, dia
memang merepotkan.
“May, temani aku makan yuk.” Dalam situasinya yang boleh dibilang
berkabung, ia bahkan masih ingat makan. Orang aneh, absurd, susah di tebak.
Sial, predikat itu kembali padanya. “Kenapa melamun. Ayo kita makan.”
Ia membuyarkan lamunanku. “Karena kamu ulang tahun jadi kamu yang traktir
ya.” “Sudah ku bilang ini cuma hari senin. Tidak ada yang
berulang, dan tidak ada yang bertambah.” Aku berkata kesal, dan ia
hanya tersenyum simpul. Bagaimana bisa kita dikatakan berteman baik, kalau
kenyataannya aku masih sulit ia tebak, dan ia masih sulit untuk aku tebak.
Tapi tunggu dulu. Apa ini ada hubungannya dengan
intuisi-intuisi itu? Ah, kenapa aku jadi memikirkannya lagi. Bukannya aku sudah
lama melupakannya? Baiklah, tidak ada yang perlu difikirkan. Tidak perlu
berkutat hebat bertanya-tanya ada apa dengan dia di masa depan. Dia ya dia. Dia
begini adanya, sudah cukup.
No comments:
Post a Comment