Wednesday, January 16, 2013

Dan Tentang Sebuah Kemewahan...

Hampir tiga belas bulan. Dan aku masih hilang. Kali ini ingin sekali aku merangkak ke hari itu. Hari yang istimewa. Malam termewah sepanjang hidupku. Bagi sebagian orang, kemewahan adalah ketika bagian-bagian tubuh mereka terbelenggu oleh puluhan kilogram perhiasan. Bagi sebagian yang lain, kemewahan berarti dapat membeli semua hal, dan itu artinya terbelenggu oleh ribuan lembar materi. Bagiku kemewahan adalah ketika hal yang paling berharga ada di dekatku, namun aku tidak terbelenggu olehnya.

Malam itu aku tidak sendiri, aku bersama seorang teman. Menyapa malam, mengisi keheningan dengan beberapa butir obrolan. Lalu sesekali terdengar gemericik angin menelusup berebut masuk ke dalam ruangan melalui celah-celah jendela. Padahal aku sengaja tidak menutup pintu, dan angin-angin itu seharusnya dapat dengan mudah masuk melewati pintu tanpa harus berebut masuk lewat jendela. Ah, angin-angin itu seperti manusia saja, selalu mempersulit diri padahal ada pilihan yang lebih mudah.

Perbincanganku dengan seorang teman itu berlanjut, namun mendadak kaku. Ada banyak reaksi tanpa aksi. Jelas saja itu menyalahi teori fisika dimana seharusnya reaksi ada ketika ada aksi. Namun dengan segala kesalahan itu, akhirnya aku mengerti bahwa kekakuan dan reaksi-reaksi itu ada untuk membawaku pada sebuah kemewahan tiada tara. Pada sebuah jeda waktu yang kosong dimana ada banyak reaksi tanpa aksi, aku sempat melayangkan pandangan pada beberapa sudut. Menikmati setiap goresan-goresan dinding yang tak rapi di cat. Malam ini adalah malam terakhir untukku berada di tempat ini, dan aku ingin memotret setiap kejadian yang pernah terjadi di dalamnya antara aku dan satu hal itu, kemewahan. 

Semakin malam, obrolanku dengan seorang teman itu semakin rancu. Menurutku obrolan ini aneh, terlalu membawa-bawa emosi. Ia mengungkapkan hal-hal yang seketika membuat hatiku berdesir hingga merasakan kemewahan itu. Ya, dalam sebuah jeda dan buncahan hati yang entah itu desiran apa, aku berani berkata bahwa kemewahan adalah ketika aku duduk bersisian dengan seorang teman malam itu. Malam dengan banyak jeda yang hanya terisi oleh diam. 

Wahai teman, kenapa harus begini? Kecambah-kecambah ini tumbuh tanpa pernah aku menanamnya. Dan pada saat yang bersamaan aku harus pergi. Meninggalkan banyak hal. Meninggalkan hatiku disana hingga hari ini. Hingga tiga belas bulan berlalu. Apa kecambah-kecambah itu masih kau rawat teman? Atau jangan-jangan sudah kau abaikan sepersekian detik setelah aku pergi, atau mungkin kau tak pernah sama sekali tahu? 

Di tempatku sekarang, di tiga belas bulan berlalu. Ada banyak kebiasaan yang berubah. Satu perubahan terbesar adalah bahwa aku tidak lagi melewati malam dengan seorang teman. Bahwa artinya aku tidak merasakan lagi kemewahan itu ada.
Ada banyak keberhargaan disini, ditempatku. Saat aku terbangun dari tidur dan mendapati secangkir teh di pagi hari, Saat aku masih terjaga dan mendapati secangkir kopi di malam hari, lalu saat disekelilingku ada banyak kejadian baik hati yang menawarkan secarik kemewahan. Semua hal itu tak pernah membuatku merasakan kemewahan seperti malam itu, malam ketika aku duduk bersisian dengan seorang teman.

Kemewahan itu hilang. Seorang teman itu tak akan pernah kembali. Dan malangnya, hatiku masih tertinggal disana. Di tiga belas bulan yang lalu. Di malam aku duduk bersisian dengan seorang teman. Malam itu..... Aku rindu. Malam itu..... Ah, sudahlah.

No comments:

Post a Comment