Masih dengan aku dan malamku. Setelah beberapa hal mengecewakan
yang terjadi siang tadi, aku masih berfikir atas apa yang sebenarnya
terjadi. Apa benar-benar kejadian yang tak di inginkan? Atau justru ada
unsur kesengajaan yang membumbuinya. Ok, mungkin hal itu bukanlah topik
utama yang aku paparkan di sini. Hal itu hanyalah sebagian kecil dari
alur hidup yang selalu terjadi berulang-ulang tanpa ku tahu apa
sebenarnya yang tersembunyi di belakangnya.
Hari ini hari Sabtu, tepat 23 hari dari 19 tahun yang aku lewati.
Seperti biasa, aku hanya menjelajah memori semampuku. Terkadang berlari
ke masa depan, dan lebih sering merangkak ke masa lalu. Apalagi dengan
keadaanku sekarang yang belum sepenuhnya pulih dari sakit yang kurang
lebih seminggu aku derita. Bukan suatu yang berbahaya memang, namun aku
hanya ingin memaparkan seberapa dalam memori beberapa bulan lalu
menguasai akal sehatku dalam kondisi yang boleh di katakan jauh dari
keteguhan raga yang baik.
Agustus lagi. Selalu Agustus tahun lalu yang memaksaku kembali
mengingat sosok itu. Lelah memang, namun terkadang ku merasa bahagia,
karena aku tak harus beranjak keluar memandang langit. Untuk apa? Jika
bintang itu memang berada di hatiku dan aku bisa merasakan Agustus
setiap saat. Lagipula, udara malam ini terlalu dingin jika ku harus
beranjak ke luar dengan peluang bintang itu ada hanya beberapa persen.
Malam ini aku lebih memilih duduk di depan komputer yang cd mother
boardnya belum berhasil aku temukan hingga tak menghasilkan suara
sedikitpun. Mungkin hanya bunyi sendok beradu dengan piring yang
menemaniku saat ini, sambil sesekali menyuapkan isinya ke mulutku yang
masih terasa pahit. Maklum, di kota-kota besar seperti halnya Bandung,
suara hiruk pikuk jangkrik sudah tergantikan oleh suara bising kendaraan
yang menurutku tak syahdu seperti ketika sepasang jangkrik
bersahut-sahutan saling membagi kabar gembira di siang hari.
Ku terima. Walaupun tak sampai 15 menit suara sendok dan piring
berhenti menemani kesendirianku. Kadang ketika ku bosan dengan winamp
yang ber volume nol di komputerku, ku cek layar di handphoneku. Namun,
tak ada suatu pemberitahuan. Yang ada hanya gambar wallpaper spongebob
yang sepertinya tersenyum ke arahku.
Aku mulai bosan. Lantas ku gerakan joystick handphoneku yang juga
semakin sulit di ajak berkompromi. Ku buka facebook. Ah dia lagi. Aku
memang butuh dia, tapi apa tak lebih baik jika saat ku buka facebook ku,
yang pertama ada dan yang pertama ku lihat adalah secarik pesan dari
sosok Agustus tahun laluku. Ku rasa itu lebih bisa membuat ku bahagia.
Tapi entahlah, karena malam ini aku melihat dia begitu kagum akan
sesuatu yang tidak ku ketahui.
Ku putuskan untuk kembali ke Agustus. Melihat sosokku yang pergi
meninggalkan gubug yang menjadi tempat di mana aku bisa berhembus untuk
pertama kali. Berat memang, tapi ketidaksejalanan hati dan akal sehat
yang sempat aku alami di sana memaksaku untuk tetap pada pendirianku,
hidup mandiri dan berusaha mengubur dalam-dalam apa yang menjadikan hati
dan akal sehatku tak berjalan berdampingan. Dan berhasil. Sosoknya
hadir menggantikan. Walaupun semakin hari hal itu semakin menambah
problematika yang ada.
Begitulah. Tak seistimewa yang ku alami memang. Ketika dunia
memanjakanku akan harapan atas banyak persamaan. Namun ada satu yang
berbeda, yakni mimpi. Mimpinya yang ada di hulu, sementara aku berada di
hilir, dan tak mungkin dengan posisinya yang lebih tinggi dariku, aku
bisa mengalirkan mimpi ke arahnya.
Sudahlah, mungkin memang semua itu cukup menghiburku. Bagaimana
tidak, sampai Agustus tahun ini pun aku masih berada pada posisi di mana
aku hanya bisa memandang langit sembari sesekali berfikir bahwa itu
adalah suatu hal yang nilai kerasionalannya nol, namun tak pernah ada
niat untuk mengubahnya menjadi sepuluh, seratus, atau mungkin lebih dari
itu. Sebab sesuatu yang nol lebih memiliki tingkat konsistensi akan
kelipatannya. Aku percaya itu, aku percaya akan rencana kehidupan yang
terbingkai dalam lipatan kertas.
No comments:
Post a Comment