“Apa yang sudah aku putuskan ini benar Win.” Beberapa kali
aku memutar ulang rekaman suara dalam memoriku. Dan yang ku ingat Winda
menjawabnya dengan kalimat-kalimat brilian. “Tidak ada kebenaran yang mutlak di
hidup ini May. Kamu hanya tinggal lupakan keputusan itu, maka kamu tidak akan menyesal.”
Berkali-kali aku mencoba mencerna kalimat-kalimat itu. Dan kau tau Win, kau
harusnya merasakan sendiri, tidak adil rasanya kalau kau hanya berteori.
Sejak hari itu, aku memang melebur menjadi serbuk-serbuk
halus yang terombang ambing, yang rapuh oleh gemuruh, bahkan bisa menghilang
begitu saja hanya dengan satu tiupan sopan. Waktu tak merubah apapun. Aku masih
saja menyalahkan waktu, padahal aku sendiri yang tak mau beranjak, aku sendiri
yang lebih memilih berjalan mundur.
Waktu itu aku memang tak berfikir panjang mengambil
keputusan, tapi seandainya pun hari ini aku masih belum memutuskan apa-apa, itu
tidak akan merubah apapun. Tidak akan merubah ketidakpeduliannya padaku.
“Tapi Win, aku boleh kan
sesekali ingin tahu keadaannya?”
“Tentu saja boleh, aku akan dengan senang hati
memberitahukannya padamu, atau mungkin kamu ingin bertanya langsung padanya.”
Jawab Winda. Tentu saja tidak.
Aku tidak akan seberani itu bertanya langsung. Ada banyak hal yang tidak
harus dilakukan dengan verbal, termasuk hal ini. Memang hanya sekedar bertanya
kabar, namun semua itu akan dengan ajaib luruh tanpa meninggalkan kesan apapun.
Dari pada begitu kan
lebih baik aku menginvestasikan pertanyaan-pertanyaan itu dalam sebuah doa agar
hasilnya berkali-ksli lipat. Ya aku selalu percaya akan keajaiban doa.
Di tempatku, saat ini pukul 5 pagi. Ya ampun, aku tidak tidur
semalaman ternyata. Bagaimana pula aku bisa tidur sementara bagian-bagian tubuh
ini terpisah. Hatiku ada di setahun yang lalu saat aku menyadari ada hal yang
tak biasa terjadi, otakku ada di sebulan yang lalu saat aku dengan setengah
mantap menggenggam keputusan itu, tanganku menggapai-gapai harapan yang
tergantung tinggi di atas sana, kakiku merangkak-rangkak mencari pembenaran
atas keputusan yang telah aku buat. Tidak kompak dan sangat berantakan. Lantas
bagaimana mungkin aku bisa tidur sementara bagian-bagian tubuh ini tak sinkron
berfungsi.
Embun pagi berkali mengetuk-ngetuk hati. Memamerkan
butirannya yang bersih. Menorehkan satu kesan dibenakku bahwasanya hidup masih
menawarkan kebaikan. Aku hanya perlu menciptakannya. Seperti embun yang tak
perlu mencari kedamaian, karena ia menciptakannya sendiri dari bulir-bulirnya
yang terjatuh sempurna. Akupun bisa terjatuh dengan indah bukan? Dan pagi
seperti biasa tak pernah membawa kabar darinya.
Teman, bagaimana kabarmu hari ini?
No comments:
Post a Comment