Sunday, February 24, 2013

Intuisi

Intuisi ini berkata.. Akan ada yang berbeda. Bahkan sejak hari pertama. Di ruangan tak berpembatas itu akhirnya aku setengah menyimpulkan sesuatu. Aku terbiasa pergi ke dunia khayal tanpa pamit, bahkan ketika di sekitarku banyak teman yang sehrusnya lebih ku acuhkan, karena mereka itu nyata. Tidak seperti intuisi-intuisi yang kerap kali aku ciptakan sendiri.
Entah mengapa hari itu aku mudah sekali berfikiran yang tidak-tidak. Dari sekali berjabat tangan, mata ini menjelajah jauh. Aku melihat dia di msa depan, walau entah akhirnya akan seperti apa. Apa ini sebuah kelainan? Aku bisa merasakan masa depan, walau tak tahu jelas akan seperti apa.
Wajah itu menunduk, dan rasa-rasanya orang dengan gelagat seperti itu akan mencari pola-pola lantai untuk ia telusuri dengan jari-jari tangannya karena tak tahu harus melakukan apa. Apa asumsiku ini benar? Tentu saja iya, walaupun masih ada kemungkinan untuk meleset sedikit. Lalu aku harus menyimpulkan apa lagi untuk seorang yang sekedar perkara berjabat tanganpun harus aku yang memulai.
Esoknya… Duhai, intuisi ini benar-benar menyita perhatianku. Yang ada di kepalaku sekarang hanyalah rasa ingin tahu yang menyala-nyala. Keinginan untuk mencari tahu sosok yang selalu terkukung oleh stagnasi itu. Siapa dia? Bagaimana dia? Tapi kenapa pula aku begitu tertarik untuk mengetahui kehidupan pribadinya. Intuisi ini kuat sekali. Aku benar-benar melihat dia di masa depan, tapi bagaimana jadinya akupun tidak tahu.
Ah, ini tidak boleh berlangsung lama. Rasanya tidak etis ingin tahu kehidupan pribadi seseorang apalagi orang yang baru dikenal. Anggap saja intuisi ini sebuah penyakit, karena akupun tak bisa memastikan akan terjadi apa di masa depan.
Hari berganti hari, penyakitku yang sempat kumat mulai sembuh. Aku tak lagi ingin tahu tentang orang itu, tidak lagi menerka-nerka bagaimana ia di masa depan. Karena sekarang kita berteman baik, sangat baik. Dia sosok yang menyenangkan, perlahan dia mulai berontak dari keadaan stagnan yang membelitnya. Saat aku tanya mengapa ia memutuskan untuk berubah, ia menjawab “Sebenarnya inilah saya, kemarin-kemarin bukan saya.” “Loh, kenapa begitu?” Aku balik bertanya, tak mengerti. “Aku membaca keadaan terlebih dahulu, baru menentukan akan menjadi apa” Jawabnya.
Aku kecolongan. Selama ini akulah yang dikenal sebagai sosok yang tak mudah ditebak, misterius. Tapi, predikat itu sekarang dia yang lebih pantas menyandangnya. Jadi apa arti intuisi-intuisiku selama ini? Ah, rasanya malas aku mengungkapnya, toh nyatanya dia lebih hebat dari aku dalam menyembunyikan sesuatu.
Waktu bergulir. menyiratkan banyak kisah, termasuk kisahnya yang telah berubah perilaku setelah ia membaca keadaan. Akupun perlahan lupa dengan intuisi-intuisi itu. Karena kali ini aku konsentrasi pada hal lain, membuat intuisi-intuisi tersebut terabaikan. Biarlah, kesimpulannya ia teman dekat yang sangat baik. Selalu membawa keceriaan dari hari ke hari.
Suatu hari ia datang padaku, membawa satu kalimat simbolisasi dari bertambahnya usiaku hari ini. Bagaimana ia bisa tahu kalau hari ini hari ulang tahunku? Setelah sekian lamanya aku melupakan ritual tahunan itu. “Tidak ada yang berulang dan tidak ada yang bertambah. Jadi kamu tidak perlu bilang selamat ulang tahun.” Aku menyeringai membuat ia bingung.”Kenapa? Kamu tidak suka ulang tahun?” Ia bertanya, penasaran. “Bukan begitu. Aku memang terbiasa untuk tidak mengistimewakan sesuatu. Buatku, ini hanya hari Senin, tidak kurang dan tidak lebih.” Jelasku mantap, membuatnya semakin bingung. Yes!! aku berhasil menjadi sosok misterius lagi setelah sekian lama predikat itu ia curi dariku. Namun hari ini tak seperti biasa, ia seharian berada di tempatku. Biasanya hari libur begini ia pergi dengan perempuan pilihan hatinya.
“Aku dan Shila sudah putus?” Ujarnya datar. “Hah! Sejak kapan?” Kini giliran aku yang terkejut, bingung. “Sejak hari ini.” Kembali ia menjawab datar. Aku tidak melihat raut penyesalan barang sedikit dari mimik wajahnya. “Kenapa?” Aku bertanya lagi, penasaran. Walau aku tak pernah bertemu Shila secara langsung, dari cerita-ceritanya aku bisa menyimpulkan kalau Shila perempuan yang baik, tapi kenapa ia sampai hati meninggalkannya? “Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa padanya. Jadi untuk apa dipertahankan.” Jawaban yang sama sekali tidak membuatku puas hati. Aku mencoba mencari-cari jawaban dari raut wajahnya, dari kernyitan dahinya, dan dari fluktuasi gerak alisnya. Nihil, aku tidak menemukan apa-apa selain gesturnya yang banyak berubah. Dulu, saat pertama bertemu, ia tak banyak tingkah dan cenderung stagnan. Kenapa orang yang satu ini begitu mudahnya berubah?
“Pokoknya dia lebih cantik, lebih pintar, dan lebih segala-galanya dari kamu.” Ia meledekku persis ketika aku penasaran dengan sosok Shila yang hampir setiap hari ia ceritakan. Aku sempat melihat fotonya, dan aku rasa ia benar. Shila sosok yang sempurna. Sekarang dengan mudahnya ia melepaskan kesempurnaan itu, benar-benar absurd.
Waktu beranjak senja, dan ia masih betah berkutat dengan komputer jadulku sambil sesekali mengajakku berdialog. Mengklik sana sini tidak jelas. Membuka file-fileku yang tak rapi ku simpan. Iseng-iseng membacanya. Jiwanya seperti melayang, tak berada di tempat. Tapi aku urung bertanya. Karena setiap pertanyaan yang aku lontarkan, akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru di benakku. Jadi rasa-rasanya aku malas bertanya-tanya lagi. Ah, dia memang merepotkan.
“May, temani aku makan yuk.” Dalam situasinya yang boleh dibilang berkabung, ia bahkan masih ingat makan. Orang aneh, absurd, susah di tebak. Sial, predikat itu kembali padanya. “Kenapa melamun. Ayo kita makan.” Ia membuyarkan lamunanku. “Karena kamu ulang tahun jadi kamu yang traktir ya.” “Sudah ku bilang ini cuma hari senin. Tidak ada yang berulang, dan tidak ada yang bertambah.” Aku berkata kesal, dan ia hanya tersenyum simpul. Bagaimana bisa kita dikatakan berteman baik, kalau kenyataannya aku masih sulit ia tebak, dan ia masih sulit untuk aku tebak.
Tapi tunggu dulu. Apa ini ada hubungannya dengan intuisi-intuisi itu? Ah, kenapa aku jadi memikirkannya lagi. Bukannya aku sudah lama melupakannya? Baiklah, tidak ada yang perlu difikirkan. Tidak perlu berkutat hebat bertanya-tanya ada apa dengan dia di masa depan. Dia ya dia. Dia begini adanya, sudah cukup.




Wednesday, February 20, 2013

Sebagian yang Tertinggal

Di pintu ini, aku sudah siap dengan koper-koperku. Ini terlalu larut untukku memutuskan pergi. Namun, apa lagi yang pantas di tunggu jika semua yang terjadi memaksaku untuk tidak lagi bertahan.
"Kamu yakin May." Tanya Winda. Aku mengangguk mantap. Siapapun tak kan ada yang tahu, bahwasanya apa yang terjadi di hati selalu berbeda. Begitupun dengan hatiku saat ini. Tapi biarlah, aku memang tidak akan bisa mendesak sebagian hati untuk pergi bersamaku malam ini. Tapi aku masih memiliki sebagian yang lain bukan? Dengan ini lah aku akan hidup. Dengan ketidaknormalan, aku sungguh tidak menemukan kata yang lebih layak lagi. 
Hidup dengan sebagian hati tidak akan jauh berbeda jika dibandingkan hidup dengan sebelah tangan, sebelah kaki, ataupun sebelah mata. Siklus hidup akan terasa lambat sekali berjalan, jauh lebih lambat dari orang-orang yang mempergunakan kedua tangan, mata, ataupun kaki. Tidak normal bukan? dan aku rasa 'ketidaknormalan' adalah hiperbolik yang paling sopan untuk mendeskripsikan keadaanku saat ini dan nanti setelah aku pergi dari tempat ini.
"Kamu tidak memberitahu dia lebih dulu? Ya walau bagaimanpun dia adalah satu-satunya alasan dari setiap hal yang kamu lakukan." Aku merenungkan kata-kata Winda. Dia memang harus tahu tentang kemenyerahan ini, tentang pilihanku untuk menjalani hidup dengan ketidaknormalan. Jika sudah begini, siapa yang akan disalahkan. Aku berlebihan bermimpi tentangnya, sementara dia pun berhak menentukan keberlanjutan hidupnya.
Sebenarnya selama ini ia mengartikanku apa? Bukankah dia tak pernah bicara? Ia hanya berkata dari keseolah-olahan yang ku simpulkan sendiri dari perubahanya, dan kesimpulan itu berujung pada pilihanku malam ini. Malam dimana aku memilih untuk melanjutkan hidup dengan ketidaknormalan. Malam dimana aku akan meninggalkan sebagian hatiku disini, karena ia tak mau dipaksa untuk ku ajak pergi.
Angin dingin menampar-nampar jendela. Membuatnya tak punya pendirian, menutup membuka, menutup lagi, membuka lagi. Namun perilaku jendela yang tergoyahkan angin malam ini sama sekali tak merubah apapun yang terjadi dalam hati, begitupun dengan keputusanku untuk pergi malam ini.

Travel yang aku pesan lama sekali datangnya. H min sekian dari tahun baru memang selalu begini, travel penuh dan jalanan macet hingga aku harus menunggu berjam-jam seperti ini. Lalu bagaimana kalau dia keburu datang? Apa yang akan aku katakan padanya perihal kepergianku malam ini. "Ah, tapi apa ia akan peduli."
Dari dekat aku melihat Winda sudah mulai terkantuk-kantuk. posisi duduknya oleng kemana-mana. Ia nampak lelah seharian membantuku mempersiapkan kepergian ini. Winda teman sekaligus tetangga yang baik. Padahal kami belum lama bertetangga. Ini karena aku terlalu terbuka menceritakan dia pada Winda.
"Win, lebih baik kamu pulang. kelihatannya kamu sudah lelah." "Tidak May, aku akan menemanimu sampai travelnya datang. " "Percayalah padaku Win, ini bukan terakhir kalinya kita akan bertemu. Jadi pulanglah." Aku mencoba membujuknya lagi. Kali ini berhasil. Setelah mengucapkan kata selamat jalan, ia pun pulang ke rumah kontrakanya, mengunci pintu dengan sempurna. Winda memang selalu begitu.
Tinggallah aku sendiri di temaram ini. Mencoba mereka ulang banyak hal. Terlalu banyak sejarah yang terukir, namun lebih banyak lagi kepastian-kepastian yang mengambang, tidak jelas. Waktu menunjukkan pukul 22.30. Tapi travel yang ku pesan tak juga datang. Yang datang malah yang lain. Takdir benar-benar memberinya kesempatan bertemu denganku untuk terakhir kalinya sebelum aku pergi.
"Kamu mau pergi kemana?"  "Aku mau pulang."  "Kembali lagi kan?" Aku menggeleng. Ada kediaman beberapa detik setelah kalimat terakhirku itu mencuat. Tapi ini rasanya lama sekali, berpuluh-puluh jam. "Ayo bicaralah. Kau terlalu lama diam. Terlalu sering berpura-pura. Terlalu tidak peka." Gumamku.
"Kenapa? Kamu tidak betah disini?" Lagi-lagi aku menggeleng. Kini giliran aku yang banyak diam, dan dia yang banyak bicara. Ternyata balas dendam itu menyenangkan juga.
"May." Kali ini ia menatapku tajam. Tatapan yang sulit untuk ku artikan. Tapi, jika aku boleh berasumsi, tatapan itu seperti sebuah pengharapan, keinginan agar aku tidak pergi. Boleh kan sesekali aku gede rasa?
"Kamu tahu kan, aku tidak suka sendirian, dan selama ini aku merasa sendirian."  "Siapa bilang. Ada aku disini, kamu tidak sendirian." Ia menjawab cepat. Baru kali ini aku merasa ia cepat menanggapiku. Ia tepat waktu untukku. Ia menatapku lebih tajam dari sebelumnya.
"Jangan pergi May." Ia berusaha membujukku. Namun aku masih diam, karena kali ini aku memang harus diam, bukan karena aku ingin membalas dendam, tapi... Sungguh aku menikmati ia yang tak lagi diam, sungguh aku tak ingin melewatkan satu hurufpun yang keluar dari pita suaranya untuk tidak alpa di telingaku.
Goresan-goresan hitam semakin memenuhi malam, namun kali ini tak membuat wajah legamnya kabur termakan malam. Wajahnya penuh binar harap. Ya Tuhan, apa itu artinya ia telah kembali setelah sekian lama ia menghindariku?
Saat ini mungkin saja aku mengembalikan kata-katanya malam itu. Bertanya apakah ia nyaman hanya berdua denganku seperti ini. Tapi sungguh, aku tidak akan pernah melakukan itu, membalas dendam pada seseorang yang ku titipkan sebagian hatiku padanya.
Dari kejauhan, nampak sebuah kendaraan tengah merapat di dekat warung mie biasa tempat aku dan dia nongkrong. Sopirnya keluar, nampaknya menanyakan sebuah alamat pada penjual mie disana. Apa mungkin itu travel yang aku pesan?
"Aku harus pergi. Travelku sudah datang."  "Jadi kamu benar-benar akan pergi?" Ia menatapku lagi. Kali ini dengan sedikit berembun di pelupuk mata. Wajah legamnya terlihat memanas, dan.... Ah, aku tidak mau menatapnya lagi. Menatapnya hanya akan membuatku kehilangan pendirian, hanya akan membuatku plinplan. Sekarang aku harus harus pergi, aku tak mungkin membiarkan sopir travel itu mengumpat-ngumpat dalam hati jika harus menungguku terlalu lama setelah berjam-jam ia terjebak macet.
"May, kamu akan kembali kan?" Lagi-lagi ia mencoba menahanku. Aku berfikir sejenak. Apa aku harus mengurungkan niatku? Apa ia benar-benar sudah kembali padaku, menjadi seseorang yang selama ini aku kenal? Apa ia tidak akan berubah lagi? Bukankah omongan laki-laki itu sesuatu yang hiperbolik, selalu berlebih dari kenyataannya. Tapi.... Ah, aku butuh waktu. Sungguh butuh waktu. "May..." Kalimatnya menggantung. "Kamu akan kembali kan?"  "Aku tidak tahu..."




Tuesday, February 12, 2013

Pintu yang Terbuka...


Asap mengepul serupa kabut, menyembul dari knalpot yang sekian detik lalu masih menyisakan dia di hadapanku. Walau begitu, aku tak serta merta berlalu dari halaman rumah kontrakanku. Aku suka berdiam diri, mengingat kembali punggung itu beberapa detik sebelum pergi. Lalu wajahnya berbalik mengucapkan sepotong salam yang ku jawab kaku. Wajah legam yang sebenarnya tak jelas terlihat karena berpadu dengan malam yang juga gelap.
Puluhan kaki menghentak, menerabas kelelahan akibat kejamnya rutinitas, dan aku berada asing diantara hentakan-hentakan itu. Pada dasarnya aku dan puluhan hentakan kaki itu sama, harus merelakan waktu-waktu berharga terpangkas rutinitas, lalu kembali ke rumah larut malam saat semua hal sudah tidak menyenangkan untuk dilakukan. Bedanya, mereka lebih mantap untuk menutup pintu saat merasa lelah karena tak ada lagi yang perlu di tunggu. Sementara aku tidak.
"Sedang apa di luar? Tidak masuk ke dalam rumah?" Seseorang menyapaku, membuyarkan imagiku. "Eh, iya mbak. Saya baru mau masuk ke dalam rumah." Jawabku sedikit gugup. Orang itu baru beberapa hari mengontrak di samping rumah kontrakanku dan tidak tahu kebiasaan tak lazimku sepulang dari rutinitas panjang ini.
Aku dan orang itu masuk ke rumah kontrakan masing-masing. Dalam hitungan 2, aku mendengar pintu kontrakan tetangga baruku sempurna di kunci. Sementara pintuku masih terbuka. Ya, ini ritualku setahun terakhir. Membiarkan pintu ini terbuka, lalu sekitar pukul 23.00  ia akan kembali untuk menepati janjinya.
"May, kita dekat sekali ya. Seperti..."; "Seperti apa?" Tanyaku penasaran.  "Seperti...." Aku menunggu kalimat itu sempurna menggelincir dari pita suaranya dengan hati membuncah. "Seperti kakak adik." Jawabnya sedikit ragu.  Buncahan-buncahan itu meluluh, menggelincir dari atas air terjun ke muara. Menyisakan mimik wajahku yang tertegun, berusaha merangkai kalimat-kalimat tadi kembali untuk akhirnya akan ku buang dan tak akan ku ingat lagi.
Laki-laki memang begitu, tidak peka. Bukankah selama ini banyak sekali malam yang tidak kita habiskan seorang diri? Bukankah sudah terlalu banyak dialog yang kita goreskan? Bahkan sudah tidak tepat lagi jika disebut sebagai dialog. Akan lebih tepat disebut sebagai sinetron striping yang episodenya panjang berlarut-larut. Tapi itu semua baginya belum cukup menjadi alasan untuk menarik konklusi yang istimewa.
Tapi tunggu dulu. Apa tadi ia bilang? 'Adik'.. Rupanya aku salah paham. 'Adik' adalah sebuah predikat yang tak mengenal kata 'bekas'. Adik adalah sebuah ikatan darah yang tak seorangpun bisa membantah dan memutuskannya. Oh, alangkah istimewanya aku ia anggap sebagai seorang adik. Meskipun sebenarnya aku lebih bahagia lagi jika...... “Ah, sudahlah.”
Bulir-bulir hangat mengalir di pipiku. Ini sudah larut sekali, hampir pukul 02.00 dinihari, dan pintuku masih terbuka. Aroma dingin semakin menyengat, menggelitik sendi-sendi yang mulai kaku karena beku. Warung mie tempat biasa kita nongkrong pun terlihat sudah tutup. Rupanya ini memang sudah terlalu malam. Tapi aku tak akan menutup pintuku  sebelum ia sampai.
Sebulan terakhir, ia memang jarang singgah di pintuku. Bahkan hampir tak pernah. Lembur lah, ini lah, itu lah. Aku tak habis fikir dengan orang-orang yang pasrah dengan rutinitas yang menelan kebebasan mereka. Bukankah waktu 24 jam tersedia untuk melakukan banyak hal? Tapi hampir semua orang memilih untuk melakukan satu hal saja dalam waktu yang jika dikonversikan ke dalam ukuran milisekon, nominalnya akan sulit diucapkan.
"May, belum tidur?" Seseorang menghampiri pintuku. "Belum Jos. Mana yang lain?" Tanyaku. "Masih di kantor."; "Lebih baik kamu tidur, tutup pintunya. Dia tidak akan pulang." Jos berlalu meninggalkanku. Selama ini, Jos tak pernah peduli padaku. Baru ketika melihat pintuku terlalu lama terbuka, ia seperti merasa kasihan melihatku selalu menunggu yang tak pasti datang.
Lantas, sekarang apa yang aku tunggu? Aku tidak mungkin membuka pintu sampai pagi hari tiba. Malam ini terlalu beku untukku menunggu, terlalu konyol untukku tetap membuka pintu.
Malam berikutnya, aku tak melihat siluet punggungnya berlalu meninggalkan asap knalpot yang mengepul memerihkan mata. aku tak melihat wajah legamnya yang remang berpadu dengan malam mengucapkan salam kearahku, dan aku pun tak menjawab apa-apa. Singkatnya, ia tak mengantarku pulang hari ini. Itu artinya, malam ini ia akan pulang cepat.
Ku buka pintuku sedikit lebar dari biasanya. Dingin, tapi sepertinya aku mulai terbiasa dengan kebekuan ini. Biasanya ia tak langsung menyambar pintu kontrakannya, lantas mengurung diri di dalamnya. Tapi, ia pasti datang padaku, singgah di pintuku berlama-lama, kemudian dialog-dialog itu bergulir membentuk episode-episode panjang yang siap di tayangkan di layar kaca. Rasanya jika itu terjadi, kita berdua pasti sudah kaya raya dan tidak perlu mengontrak karena bisa membeli rumah sendiri.
Jadi bayangkanlah, betapa dekat hubungan kita. Namun sayangnya, ia mengkamuflasekannya dalam predikat 'kakak adik'. Tak ingin menyadari bahwa semua hal ini terlalu berlebihan dengan predikat itu.
Hampir satu jam aku menunggu di dekat pintu yang terbuka. Aku kerahkan seluruh energi mataku untuk menangkap bayangannya. Menyelidik bak detektif. Semoga dari radius sekian meter aku dapat mendeteksi kedatangannya lebih awal. Namun nyatanya tidak. Terlalu banyak melamun membuat informasi dari mata terlambat di transfer ke otak, hingga akupun terlambat menyadari bahwa kini kepulan asap itu tengah merapat di depan rumah kontrakannya.
Aku beringsut masuk, menghilang ke belakang pintu yang masih terbuka. Manusia kadang aneh, jika sesuatu tak ada di cari, namun jika ada malah sembunyi. Tapi bukan itu alasanku. Jika ia peka, ia akan mengerti dengan hanya aku membuka pintuku sedikit lebih lebar. Sayangnya, laki-laki memang tidak pernah peka.
Aku melihat sekian meter di sebrang rumah kontrakanku ia mengeluarkan sesuatu berbahan kuningan dari saku celananya. Ini yang aku benci, ini yang terjadi sebulan terakhir. Ia tak singgah di pintuku, dan lebih memilih berada di rumah kontrakannya semalaman tanpa semua kebiasaan kita. Lalu aku biasanya akan membiarkan keadaan itu berlangsung sampai pagi harinya. Berkutat dengan asumsi-asumsi negatifku sendiri. Membiarkan kedua pintu kita terbuka tanpa ada yang mengalah masuk ke salah satunya. Namun, entah setan apa yang merasuki fikiranku malam ini. Dengan spontan aku beranjak meninggalkan pintuku yang masih terbuka dan berlari menuju pintunya. Aku mengulang kebiasaannya mengucap salam tiap kali wajah legamnya menoleh kearahku sebelum ia beranjak pergi.
"Tumben kamu kesini May?" Tanya Jos. "Nggak bisa tidur Jos." Sepertinya aku salah menjawab. Jos tahu persis kalau setiap malam aku memang tidak bisa tidur karena selalu kedinginan dengan pintu yang terbuka.
Tempat ini terasa senyap. Jos sibuk dengan laptopnya. Sementara dia.....
Aku mohon jangan katakan bahwa orang yang persis duduk di depanku ini sedang serius membaca buku. Aku sangat tahu, ia tidak suka membaca buku. Dan apa yang ku lihat sekarang? Ia lebih memilih membaca buku itu daripada menyapaku, jadi kesimpulannya ia lebih tidak menyukai kehadiranku daripada membaca buku. Astaga…
Jos cukup mengerti. Ia meninggalkan kami berdua di tempat itu. Dengan dia yang masih lebih memilih buku itu, dan aku yang masih menunggu. Mengapa perempuan hanya di takdirkan menunggu? Dalam keadaan ini aku ingin akulah yang memutuskan, aku ingin akulah yang memulai.
"Kita hanya berdua di tempat ini. Apa kamu merasa nyaman?" Kalimat tanya itu begitu saja ia muntahkan, dan lazimnya jika kita melihat seseorang muntah, kita akan merasa sesuatu menohok ulu hati, mual, dan kitapun ingin muntah. Seperti aku sekarang yang rasanya ingin memaki-makinya agar aku tak mual lagi. Tapi aku urungkan. "Itu gunanya kita membuka pintu. Jadi untuk apa merasa tidak nyaman?" Aku membantah. "Memang…" Kalimatnya menggantung. Matanya tetap tak beralih dari buku yang ia baca.
Tanpa fikir panjang aku beranjak dari kediamanku. “Lebih baik aku pergi. Sepertinya kamu yang merasa tidak nyaman.” Aku berlalu dari hadapannya yang masih lebih memilih buku yang tidak ia sukai ketimbang aku. Berlari menuju pintuku dengan mata basah. Aku tak tahu mengapa, yang pasti semuanya telah berubah, dan bodohnya aku masih saja membuka pintuku semalaman hingga pagi tiba, hingga malam menjelang lagi, hingga kepulan asap tak hanya memerihkan mata namun juga memerihkan hati. Pintu itu masih saja terbuka hingga entah kapan.


Wednesday, January 16, 2013

Dan Tentang Sebuah Kemewahan...

Hampir tiga belas bulan. Dan aku masih hilang. Kali ini ingin sekali aku merangkak ke hari itu. Hari yang istimewa. Malam termewah sepanjang hidupku. Bagi sebagian orang, kemewahan adalah ketika bagian-bagian tubuh mereka terbelenggu oleh puluhan kilogram perhiasan. Bagi sebagian yang lain, kemewahan berarti dapat membeli semua hal, dan itu artinya terbelenggu oleh ribuan lembar materi. Bagiku kemewahan adalah ketika hal yang paling berharga ada di dekatku, namun aku tidak terbelenggu olehnya.

Malam itu aku tidak sendiri, aku bersama seorang teman. Menyapa malam, mengisi keheningan dengan beberapa butir obrolan. Lalu sesekali terdengar gemericik angin menelusup berebut masuk ke dalam ruangan melalui celah-celah jendela. Padahal aku sengaja tidak menutup pintu, dan angin-angin itu seharusnya dapat dengan mudah masuk melewati pintu tanpa harus berebut masuk lewat jendela. Ah, angin-angin itu seperti manusia saja, selalu mempersulit diri padahal ada pilihan yang lebih mudah.

Perbincanganku dengan seorang teman itu berlanjut, namun mendadak kaku. Ada banyak reaksi tanpa aksi. Jelas saja itu menyalahi teori fisika dimana seharusnya reaksi ada ketika ada aksi. Namun dengan segala kesalahan itu, akhirnya aku mengerti bahwa kekakuan dan reaksi-reaksi itu ada untuk membawaku pada sebuah kemewahan tiada tara. Pada sebuah jeda waktu yang kosong dimana ada banyak reaksi tanpa aksi, aku sempat melayangkan pandangan pada beberapa sudut. Menikmati setiap goresan-goresan dinding yang tak rapi di cat. Malam ini adalah malam terakhir untukku berada di tempat ini, dan aku ingin memotret setiap kejadian yang pernah terjadi di dalamnya antara aku dan satu hal itu, kemewahan. 

Semakin malam, obrolanku dengan seorang teman itu semakin rancu. Menurutku obrolan ini aneh, terlalu membawa-bawa emosi. Ia mengungkapkan hal-hal yang seketika membuat hatiku berdesir hingga merasakan kemewahan itu. Ya, dalam sebuah jeda dan buncahan hati yang entah itu desiran apa, aku berani berkata bahwa kemewahan adalah ketika aku duduk bersisian dengan seorang teman malam itu. Malam dengan banyak jeda yang hanya terisi oleh diam. 

Wahai teman, kenapa harus begini? Kecambah-kecambah ini tumbuh tanpa pernah aku menanamnya. Dan pada saat yang bersamaan aku harus pergi. Meninggalkan banyak hal. Meninggalkan hatiku disana hingga hari ini. Hingga tiga belas bulan berlalu. Apa kecambah-kecambah itu masih kau rawat teman? Atau jangan-jangan sudah kau abaikan sepersekian detik setelah aku pergi, atau mungkin kau tak pernah sama sekali tahu? 

Di tempatku sekarang, di tiga belas bulan berlalu. Ada banyak kebiasaan yang berubah. Satu perubahan terbesar adalah bahwa aku tidak lagi melewati malam dengan seorang teman. Bahwa artinya aku tidak merasakan lagi kemewahan itu ada.
Ada banyak keberhargaan disini, ditempatku. Saat aku terbangun dari tidur dan mendapati secangkir teh di pagi hari, Saat aku masih terjaga dan mendapati secangkir kopi di malam hari, lalu saat disekelilingku ada banyak kejadian baik hati yang menawarkan secarik kemewahan. Semua hal itu tak pernah membuatku merasakan kemewahan seperti malam itu, malam ketika aku duduk bersisian dengan seorang teman.

Kemewahan itu hilang. Seorang teman itu tak akan pernah kembali. Dan malangnya, hatiku masih tertinggal disana. Di tiga belas bulan yang lalu. Di malam aku duduk bersisian dengan seorang teman. Malam itu..... Aku rindu. Malam itu..... Ah, sudahlah.

Wednesday, January 2, 2013

Entah ini apa...

Ini bukan mengenai kesendirian, ataupun keterasingan. Karena dua kata itu sangat lekat dengan banyak malam yang aku lewati. Contohnya malam kemarin, atau malam kemarinnya lagi. Akupun tak keberatan dengan keberadaannya. Sendiri berarti kekuasaan. Menguasai keheningan, menguasai kehampaan, menguasai kebekuan. Lihat, bahkan tak ada satupun yang berani membantahku. Tak ada yang berani menjadi rivalku untuk menguasai malam ini. Ah, semuanya payah, tak punya nyali. 

Terasing berarti kebebasan. Bebas melakukan apapun tanpa khawatir akan spekulasi. Siapa yang berani berspekulasi jika di malam ini aku terasing, tak ada yang mengenali?

Aku masih penasaran. Apa aku benar-benar sendiri? Apa aku benar-benar terasing? Karena sudah larutkah?! Aku melayangkan pandangan pada setiap jengkal ruangan ini. Menatap lebih teliti dari sebelumnya. Lantas pandanganku terhenti pada seekor hewan kecil. Malang sekali hewan itu, kehadirannya tak pernah disadari. Seperti aku yang terasing malam ini. Ah sudahlah. Bukannya aku tak akan membahas soal kesendirian ataupun keterasingan, karena dua hal itu sudah benar-benar menjadi sebuah kemutlakan.

Malam ini, ada banyak hal yang berkecamuk. Berbondong-bondong menyerang fikiran. Meronta meminta penyelesaian, sementara aku sedang tak ingin menanggapinya. Ah, semenjak destinasi ini berpindah hati bukankah aku selalu malas melakukan apapun? Rasanya jika aku punya mesin waktu, ingin sekali aku hijrah ke masa depan. Bertemu dengan kepastian. Memulai nol kehidupan dan banyak beribadah karena kelak di depan ada suatu masa yang menjadikan banyak perbuatan menjadi ladang ibadah.

Namun, apa aku akan berkesempatan bertemu dengan masa itu? Ataukah akan seperti ini saja? Ah, Dia yang paling tahu mana yang terbaik. Tak seharusnya aku merasa risau. Tak seharusnya aku merasa ragu akan kepastian. Sudah semestinya aku melakukan banyak hal untuk ketidakpastian. Mengumpulkan banyak bekal, beribadah lebih banyak.

Wahai Engkau, jauhkanlah aku dari risau hati. Jauhkan aku dari keraguan. Jika masih saja aku terperangkap dalam kecamuk hati, jadikanlah itu sebagai ladang ibadah. Jadikanlah itu sebagai jalan menuju ketidakpastian-Mu yang akan berujung indah, yang akan berakhir baik. Aamiin…