Tuesday, March 19, 2013

Agustus di Bulan Juli (Catatan 25 Juli 2009)

Masih dengan aku dan malamku. Setelah beberapa hal mengecewakan yang terjadi siang tadi, aku masih berfikir atas apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar-benar kejadian yang tak di inginkan? Atau justru ada unsur kesengajaan yang membumbuinya. Ok, mungkin hal itu bukanlah topik utama yang aku paparkan di sini. Hal itu hanyalah sebagian kecil dari alur hidup yang selalu terjadi berulang-ulang tanpa ku tahu apa sebenarnya yang tersembunyi di belakangnya. 


Hari ini hari Sabtu, tepat 23 hari dari 19 tahun yang aku lewati. Seperti biasa, aku hanya menjelajah memori semampuku. Terkadang berlari ke masa depan, dan lebih sering merangkak ke masa lalu. Apalagi dengan keadaanku sekarang yang belum sepenuhnya pulih dari sakit yang kurang lebih seminggu aku derita. Bukan suatu yang berbahaya memang, namun aku hanya ingin memaparkan seberapa dalam memori beberapa bulan lalu menguasai akal sehatku dalam kondisi yang boleh di katakan jauh dari keteguhan raga yang baik. 


Agustus lagi. Selalu Agustus tahun lalu yang memaksaku kembali mengingat sosok itu. Lelah memang, namun terkadang ku merasa bahagia, karena aku tak harus beranjak keluar memandang langit. Untuk apa? Jika bintang itu memang berada di hatiku dan aku bisa merasakan Agustus setiap saat. Lagipula, udara malam ini terlalu dingin jika ku harus beranjak ke luar dengan peluang bintang itu ada hanya beberapa persen. 


Malam ini aku lebih memilih duduk di depan komputer yang cd mother boardnya belum berhasil aku temukan hingga tak menghasilkan suara sedikitpun. Mungkin hanya bunyi sendok beradu dengan piring yang menemaniku saat ini, sambil sesekali menyuapkan isinya ke mulutku yang masih terasa pahit. Maklum, di kota-kota besar seperti halnya Bandung, suara hiruk pikuk jangkrik sudah tergantikan oleh suara bising kendaraan yang menurutku tak syahdu seperti ketika sepasang jangkrik bersahut-sahutan saling membagi kabar gembira di siang hari. 


Ku terima. Walaupun tak sampai 15 menit suara sendok dan piring berhenti menemani kesendirianku. Kadang ketika ku bosan dengan winamp yang ber volume nol di komputerku, ku cek layar di handphoneku. Namun, tak ada suatu pemberitahuan. Yang ada hanya gambar wallpaper spongebob yang sepertinya tersenyum ke arahku. 


Aku mulai bosan. Lantas ku gerakan joystick handphoneku yang juga semakin sulit di ajak berkompromi. Ku buka facebook. Ah dia lagi. Aku memang butuh dia, tapi apa tak lebih baik jika saat ku buka facebook ku, yang pertama ada dan yang pertama ku lihat adalah secarik pesan dari sosok Agustus tahun laluku. Ku rasa itu lebih bisa membuat ku bahagia. Tapi entahlah, karena malam ini aku melihat dia begitu kagum akan sesuatu yang tidak ku ketahui.
Ku putuskan untuk kembali ke Agustus. Melihat sosokku yang pergi meninggalkan gubug yang menjadi tempat di mana aku bisa berhembus untuk pertama kali. Berat memang, tapi ketidaksejalanan hati dan akal sehat yang sempat aku alami di sana memaksaku untuk tetap pada pendirianku, hidup mandiri dan berusaha mengubur dalam-dalam apa yang menjadikan hati dan akal sehatku tak berjalan berdampingan. Dan berhasil. Sosoknya hadir menggantikan. Walaupun semakin hari hal itu semakin menambah problematika yang ada. 


Begitulah. Tak seistimewa yang ku alami memang. Ketika dunia memanjakanku akan harapan atas banyak persamaan. Namun ada satu yang berbeda, yakni mimpi. Mimpinya yang ada di hulu, sementara aku berada di hilir, dan tak mungkin dengan posisinya yang lebih tinggi dariku, aku bisa mengalirkan mimpi ke arahnya. 


Sudahlah, mungkin memang semua itu cukup menghiburku. Bagaimana tidak, sampai Agustus tahun ini pun aku masih berada pada posisi di mana aku hanya bisa memandang langit sembari sesekali berfikir bahwa itu adalah suatu hal yang nilai kerasionalannya nol, namun tak pernah ada niat untuk mengubahnya menjadi sepuluh, seratus, atau mungkin lebih dari itu. Sebab sesuatu yang nol lebih memiliki tingkat konsistensi akan kelipatannya. Aku percaya itu, aku percaya akan rencana kehidupan yang terbingkai dalam lipatan kertas. 







Wednesday, March 13, 2013

Perempuan...

Kita hanyalah perempuan, yang terbelit banyak aturan. Maka sungguh, ada hal-hal yang tidak sepatutnya kita mulai kendatipun kita ingin, kendatipun kita tak sabar hati untuk memulai. Teman, aku bukan tidak paham dengam emansipasi, tapi aku hanya tidak ingin mengaplikasikan istilah itu dengan hal-hal berlebihan sehingga menjadi pembenaran dari perkara yang tidak sepatutnya kita lakukan. 

Kau tahu mengapa? Karena kehormatan adalah harga mati yang tak bisa di tawar-tawar lagi. Bahkan hal itu menjadi salah satu dari empat syarat seorang perempuan dapat menghuni tempat terindah-Nya. 

“Ah, kamu berlebihan.” Sanggahmu. Adalah hakmu menilai aku bagaimana. Namun, tak ada yang ku sesali dari sikapku. Kau tahu bukan, aku bahkan pernah menyiapkan sekian banyak burung-burung kertas yang nantinya akan menjadi simbol untukku menyatakan sesuatu. Namun Ia sungguh tak pernah datang terlambat untukku. Ia menghentikan burung-burung kertas itu di hitungan kesekian dan menyadarkanku bahwasanya ada hal-hal yang tidak seharusnya kita utarakan, sebut saja perkara hati. Dan kau tahu kelanjutannya bukan? Selang beberapa bulan, hal itu hanya menjadi kisah yang kadaluarsa. Aku tak lagi ingin mengutarakan, karena perkara hati itu sudah selesai. Maka beruntunglah aku teman. Bayangkan saja jika waktu itu aku nekat mengutarakan. 

Intinya, ini hanya tentang bagaimana kita bertahan. Aku mengerti sungguh berat bertahan untuk tidak mengungkapkan apa yang ingin kita ungkapkan. Terlebih jika kenyataan menghadirkan warna hitam pekat yang selalu membuat hati ini berkabung. Tapi teman, memutuskan untuk bertahan akan jauh lebih indah ketimbang beralibi akan emansipasi untuk mencari pembenaran. 

“Buktinya kamu sendiri tidak bahagia kan dengan pilihanmu untuk bertahan dan tetap diam?” Kau masih saja menyanggah. Tapi kau salah, aku bahagia dengan kebertahanan ini. Meskipun seringkali aku tak sabar hati, tapi dengan aku masih berada di tempat ini, itu artinya aku masih sanggup bertahan. 

Aku yakin, akan ada skenario terindah dari-Nya tanpa harus aku yang memulai. Pun seandainya skenario itu tidak pernah terjadi di dunia, kebertahanan itu akan menjadi skenario terindah saat kita pulang, saat tiba waktu kita kembali. 

Maka ya Rabb, janganlah biarkan kami resah akan skenariomu itu. Karena ada hal yang jauh lebih patut untuk kami resahkan, yakni ke tempat mana kami akan kembali. Biarkan kami tenggelam dalam penghambaan kami pada-Mu ya Rabb, agar kami mendapat tempat kembali yang indah. Aamiin…




Teman, bagaimana kabarmu hari ini?

“Apa yang sudah aku putuskan ini benar Win.” Beberapa kali aku memutar ulang rekaman suara dalam memoriku. Dan yang ku ingat Winda menjawabnya dengan kalimat-kalimat brilian. “Tidak ada kebenaran yang mutlak di hidup ini May. Kamu hanya tinggal lupakan keputusan itu, maka kamu tidak akan menyesal.” Berkali-kali aku mencoba mencerna kalimat-kalimat itu. Dan kau tau Win, kau harusnya merasakan sendiri, tidak adil rasanya kalau kau hanya berteori. 

Sejak hari itu, aku memang melebur menjadi serbuk-serbuk halus yang terombang ambing, yang rapuh oleh gemuruh, bahkan bisa menghilang begitu saja hanya dengan satu tiupan sopan. Waktu tak merubah apapun. Aku masih saja menyalahkan waktu, padahal aku sendiri yang tak mau beranjak, aku sendiri yang lebih memilih berjalan mundur.
Waktu itu aku memang tak berfikir panjang mengambil keputusan, tapi seandainya pun hari ini aku masih belum memutuskan apa-apa, itu tidak akan merubah apapun. Tidak akan merubah ketidakpeduliannya padaku. 

“Tapi Win, aku boleh kan sesekali ingin tahu keadaannya?”
“Tentu saja boleh, aku akan dengan senang hati memberitahukannya padamu, atau mungkin kamu ingin bertanya langsung padanya.” Jawab Winda. Tentu saja tidak.
Aku tidak akan seberani itu bertanya langsung. Ada banyak hal yang tidak harus dilakukan dengan verbal, termasuk hal ini. Memang hanya sekedar bertanya kabar, namun semua itu akan dengan ajaib luruh tanpa meninggalkan kesan apapun. Dari pada begitu kan lebih baik aku menginvestasikan pertanyaan-pertanyaan itu dalam sebuah doa agar hasilnya berkali-ksli lipat. Ya aku selalu percaya akan keajaiban doa. 

Di tempatku, saat ini pukul 5 pagi. Ya ampun, aku tidak tidur semalaman ternyata. Bagaimana pula aku bisa tidur sementara bagian-bagian tubuh ini terpisah. Hatiku ada di setahun yang lalu saat aku menyadari ada hal yang tak biasa terjadi, otakku ada di sebulan yang lalu saat aku dengan setengah mantap menggenggam keputusan itu, tanganku menggapai-gapai harapan yang tergantung tinggi di atas sana, kakiku merangkak-rangkak mencari pembenaran atas keputusan yang telah aku buat. Tidak kompak dan sangat berantakan. Lantas bagaimana mungkin aku bisa tidur sementara bagian-bagian tubuh ini tak sinkron berfungsi. 

Embun pagi berkali mengetuk-ngetuk hati. Memamerkan butirannya yang bersih. Menorehkan satu kesan dibenakku bahwasanya hidup masih menawarkan kebaikan. Aku hanya perlu menciptakannya. Seperti embun yang tak perlu mencari kedamaian, karena ia menciptakannya sendiri dari bulir-bulirnya yang terjatuh sempurna. Akupun bisa terjatuh dengan indah bukan? Dan pagi seperti biasa tak pernah membawa kabar darinya.
Teman, bagaimana kabarmu hari ini?