Asap
mengepul serupa kabut, menyembul dari knalpot yang sekian detik lalu masih
menyisakan dia di hadapanku. Walau begitu, aku tak serta merta berlalu dari
halaman rumah kontrakanku. Aku suka berdiam diri, mengingat kembali punggung
itu beberapa detik sebelum pergi. Lalu wajahnya berbalik mengucapkan sepotong
salam yang ku jawab kaku. Wajah legam yang sebenarnya tak jelas terlihat karena
berpadu dengan malam yang juga gelap.
Puluhan
kaki menghentak, menerabas kelelahan akibat kejamnya rutinitas, dan aku berada
asing diantara hentakan-hentakan itu. Pada dasarnya aku dan puluhan hentakan
kaki itu sama, harus merelakan waktu-waktu berharga terpangkas rutinitas, lalu
kembali ke rumah larut malam saat semua hal sudah tidak menyenangkan untuk
dilakukan. Bedanya, mereka lebih mantap untuk menutup pintu saat merasa lelah
karena tak ada lagi yang perlu di tunggu. Sementara aku tidak.
"Sedang
apa di luar? Tidak masuk ke dalam rumah?"
Seseorang menyapaku, membuyarkan imagiku. "Eh, iya mbak. Saya baru
mau masuk ke dalam rumah." Jawabku sedikit gugup. Orang itu baru
beberapa hari mengontrak di samping rumah kontrakanku dan tidak tahu kebiasaan
tak lazimku sepulang dari rutinitas panjang ini.
Aku dan
orang itu masuk ke rumah kontrakan masing-masing. Dalam hitungan 2, aku mendengar
pintu kontrakan tetangga baruku sempurna di kunci. Sementara pintuku masih
terbuka. Ya, ini ritualku setahun terakhir. Membiarkan pintu ini terbuka, lalu
sekitar pukul 23.00 ia akan kembali
untuk menepati janjinya.
"May,
kita dekat sekali ya. Seperti..."; "Seperti apa?" Tanyaku
penasaran. "Seperti...."
Aku menunggu kalimat itu sempurna menggelincir dari pita suaranya
dengan hati membuncah. "Seperti kakak adik." Jawabnya
sedikit ragu. Buncahan-buncahan
itu meluluh, menggelincir dari atas air terjun ke muara. Menyisakan mimik
wajahku yang tertegun, berusaha merangkai kalimat-kalimat tadi kembali untuk
akhirnya akan ku buang dan tak akan ku ingat lagi.
Laki-laki
memang begitu, tidak peka. Bukankah selama ini banyak sekali malam yang tidak
kita habiskan seorang diri? Bukankah sudah terlalu banyak dialog yang kita
goreskan? Bahkan sudah tidak tepat lagi jika disebut sebagai dialog. Akan lebih
tepat disebut sebagai sinetron striping yang episodenya panjang berlarut-larut.
Tapi itu semua baginya belum cukup menjadi alasan untuk menarik konklusi yang
istimewa.
Tapi
tunggu dulu. Apa tadi ia bilang? 'Adik'.. Rupanya aku salah paham. 'Adik'
adalah sebuah predikat yang tak mengenal kata 'bekas'. Adik adalah sebuah
ikatan darah yang tak seorangpun bisa membantah dan memutuskannya. Oh, alangkah
istimewanya aku ia anggap sebagai seorang adik. Meskipun sebenarnya aku lebih
bahagia lagi jika...... “Ah, sudahlah.”
Bulir-bulir
hangat mengalir di pipiku. Ini sudah larut sekali, hampir pukul 02.00 dinihari,
dan pintuku masih terbuka. Aroma dingin semakin menyengat, menggelitik
sendi-sendi yang mulai kaku karena beku. Warung mie tempat biasa kita nongkrong
pun terlihat sudah tutup. Rupanya ini memang sudah terlalu malam. Tapi aku tak
akan menutup pintuku sebelum ia sampai.
Sebulan
terakhir, ia memang jarang singgah di pintuku. Bahkan hampir tak pernah. Lembur
lah, ini lah, itu lah. Aku tak habis fikir dengan orang-orang yang pasrah
dengan rutinitas yang menelan kebebasan mereka. Bukankah waktu 24 jam tersedia
untuk melakukan banyak hal? Tapi hampir semua orang memilih untuk melakukan
satu hal saja dalam waktu yang jika dikonversikan ke dalam ukuran milisekon,
nominalnya akan sulit diucapkan.
"May,
belum tidur?" Seseorang menghampiri pintuku. "Belum
Jos. Mana yang lain?" Tanyaku. "Masih di kantor.";
"Lebih baik kamu tidur, tutup pintunya. Dia tidak akan pulang."
Jos berlalu meninggalkanku. Selama ini, Jos tak pernah peduli padaku. Baru
ketika melihat pintuku terlalu lama terbuka, ia seperti merasa kasihan
melihatku selalu menunggu yang tak pasti datang.
Lantas,
sekarang apa yang aku tunggu? Aku tidak mungkin membuka pintu sampai pagi hari
tiba. Malam ini terlalu beku untukku menunggu, terlalu konyol untukku tetap
membuka pintu.
Malam
berikutnya, aku tak melihat siluet punggungnya berlalu meninggalkan asap
knalpot yang mengepul memerihkan mata. aku tak melihat wajah legamnya yang
remang berpadu dengan malam mengucapkan salam kearahku, dan aku pun tak
menjawab apa-apa. Singkatnya, ia tak mengantarku pulang hari ini. Itu artinya,
malam ini ia akan pulang cepat.
Ku buka
pintuku sedikit lebar dari biasanya. Dingin, tapi sepertinya aku mulai terbiasa
dengan kebekuan ini. Biasanya ia tak langsung menyambar pintu kontrakannya,
lantas mengurung diri di dalamnya. Tapi, ia pasti datang padaku, singgah di
pintuku berlama-lama, kemudian dialog-dialog itu bergulir membentuk
episode-episode panjang yang siap di tayangkan di layar kaca. Rasanya jika itu
terjadi, kita berdua pasti sudah kaya raya dan tidak perlu mengontrak karena
bisa membeli rumah sendiri.
Jadi
bayangkanlah, betapa dekat hubungan kita. Namun sayangnya, ia
mengkamuflasekannya dalam predikat 'kakak adik'. Tak ingin menyadari bahwa
semua hal ini terlalu berlebihan dengan predikat itu.
Hampir
satu jam aku menunggu di dekat pintu yang terbuka. Aku kerahkan seluruh energi
mataku untuk menangkap bayangannya. Menyelidik bak detektif. Semoga dari radius
sekian meter aku dapat mendeteksi kedatangannya lebih awal. Namun nyatanya
tidak. Terlalu banyak melamun membuat informasi dari mata terlambat di transfer
ke otak, hingga akupun terlambat menyadari bahwa kini kepulan asap itu tengah
merapat di depan rumah kontrakannya.
Aku
beringsut masuk, menghilang ke belakang pintu yang masih terbuka. Manusia
kadang aneh, jika sesuatu tak ada di cari, namun jika ada malah sembunyi. Tapi
bukan itu alasanku. Jika ia peka, ia akan mengerti dengan hanya aku membuka
pintuku sedikit lebih lebar. Sayangnya, laki-laki memang tidak pernah peka.
Aku
melihat sekian meter di sebrang rumah kontrakanku ia mengeluarkan sesuatu
berbahan kuningan dari saku celananya. Ini yang aku benci, ini yang terjadi
sebulan terakhir. Ia tak singgah di pintuku, dan lebih memilih berada di rumah
kontrakannya semalaman tanpa semua kebiasaan kita. Lalu aku biasanya akan
membiarkan keadaan itu berlangsung sampai pagi harinya. Berkutat dengan
asumsi-asumsi negatifku sendiri. Membiarkan kedua pintu kita terbuka tanpa ada
yang mengalah masuk ke salah satunya. Namun, entah setan apa yang merasuki
fikiranku malam ini. Dengan spontan aku beranjak meninggalkan pintuku yang
masih terbuka dan berlari menuju pintunya. Aku mengulang kebiasaannya mengucap
salam tiap kali wajah legamnya menoleh kearahku sebelum ia beranjak pergi.
"Tumben
kamu kesini May?" Tanya Jos. "Nggak bisa tidur
Jos." Sepertinya aku salah menjawab. Jos tahu persis kalau setiap
malam aku memang tidak bisa tidur karena selalu kedinginan dengan pintu yang
terbuka.
Tempat
ini terasa senyap. Jos sibuk dengan laptopnya. Sementara dia.....
Aku
mohon jangan katakan bahwa orang yang persis duduk di depanku ini sedang serius
membaca buku. Aku sangat tahu, ia tidak suka membaca buku. Dan apa yang ku
lihat sekarang? Ia lebih memilih membaca buku itu daripada menyapaku, jadi
kesimpulannya ia lebih tidak menyukai kehadiranku daripada membaca buku. Astaga…
Jos
cukup mengerti. Ia meninggalkan kami berdua di tempat itu. Dengan dia yang
masih lebih memilih buku itu, dan aku yang masih menunggu. Mengapa perempuan
hanya di takdirkan menunggu? Dalam keadaan ini aku ingin akulah yang
memutuskan, aku ingin akulah yang memulai.
"Kita
hanya berdua di tempat ini. Apa kamu merasa nyaman?" Kalimat
tanya itu begitu saja ia muntahkan, dan lazimnya jika kita melihat seseorang
muntah, kita akan merasa sesuatu menohok ulu hati, mual, dan kitapun ingin
muntah. Seperti aku sekarang yang rasanya ingin memaki-makinya agar aku tak
mual lagi. Tapi aku urungkan. "Itu gunanya kita membuka pintu. Jadi
untuk apa merasa tidak nyaman?" Aku membantah. "Memang…"
Kalimatnya menggantung. Matanya tetap tak beralih dari buku yang ia baca.
Tanpa
fikir panjang aku beranjak dari kediamanku. “Lebih baik aku pergi.
Sepertinya kamu yang merasa tidak nyaman.” Aku berlalu dari hadapannya
yang masih lebih memilih buku yang tidak ia sukai ketimbang aku. Berlari menuju
pintuku dengan mata basah. Aku tak tahu mengapa, yang pasti semuanya telah
berubah, dan bodohnya aku masih saja membuka pintuku semalaman hingga pagi
tiba, hingga malam menjelang lagi, hingga kepulan asap tak hanya memerihkan
mata namun juga memerihkan hati. Pintu itu masih saja terbuka hingga entah
kapan.
Karena cinta seseorang menjadi terlalu bodoh untuk mnyadari kenyataan..sakit memang
ReplyDeleteSeseorang yang bodoh atau justeru kita yang terlalu banyak berharap.. :(
ReplyDeleteBodoh karena sdh tw jwbannya tidak tp msh mencinta dan berharap...
ReplyDeletecurhat nih.. hehe
ReplyDelete