Di pintu ini, aku sudah siap dengan koper-koperku. Ini
terlalu larut untukku memutuskan pergi. Namun, apa lagi yang pantas di tunggu
jika semua yang terjadi memaksaku untuk tidak lagi bertahan.
"Kamu yakin May." Tanya Winda. Aku mengangguk mantap.
Siapapun tak kan
ada yang tahu, bahwasanya apa yang terjadi di hati selalu berbeda. Begitupun
dengan hatiku saat ini. Tapi biarlah, aku memang tidak akan bisa mendesak
sebagian hati untuk pergi bersamaku malam ini. Tapi aku masih memiliki sebagian
yang lain bukan? Dengan ini lah aku akan hidup. Dengan ketidaknormalan, aku
sungguh tidak menemukan kata yang lebih layak lagi.
Hidup dengan sebagian hati tidak akan jauh berbeda jika
dibandingkan hidup dengan sebelah tangan, sebelah kaki, ataupun sebelah mata.
Siklus hidup akan terasa lambat sekali berjalan, jauh lebih lambat dari
orang-orang yang mempergunakan kedua tangan, mata, ataupun kaki. Tidak normal
bukan? dan aku rasa 'ketidaknormalan' adalah hiperbolik yang paling sopan untuk
mendeskripsikan keadaanku saat ini dan nanti setelah aku pergi dari tempat ini.
"Kamu tidak memberitahu dia lebih dulu? Ya walau
bagaimanpun dia adalah satu-satunya alasan dari setiap hal yang kamu
lakukan." Aku
merenungkan kata-kata Winda. Dia memang harus tahu tentang kemenyerahan ini, tentang
pilihanku untuk menjalani hidup dengan ketidaknormalan. Jika sudah begini,
siapa yang akan disalahkan. Aku berlebihan bermimpi tentangnya, sementara dia
pun berhak menentukan keberlanjutan hidupnya.
Sebenarnya selama ini ia mengartikanku apa? Bukankah dia tak
pernah bicara? Ia hanya berkata dari keseolah-olahan yang ku simpulkan sendiri dari
perubahanya, dan kesimpulan itu berujung pada pilihanku malam ini. Malam dimana
aku memilih untuk melanjutkan hidup dengan ketidaknormalan. Malam dimana aku
akan meninggalkan sebagian hatiku disini, karena ia tak mau dipaksa untuk ku
ajak pergi.
Angin dingin menampar-nampar jendela. Membuatnya tak punya
pendirian, menutup membuka, menutup lagi, membuka lagi. Namun perilaku jendela
yang tergoyahkan angin malam ini sama sekali tak merubah apapun yang terjadi dalam
hati, begitupun dengan keputusanku untuk pergi malam ini.
Travel yang aku pesan lama sekali datangnya. H min sekian
dari tahun baru memang selalu begini, travel penuh dan jalanan macet hingga aku
harus menunggu berjam-jam seperti ini. Lalu bagaimana kalau dia keburu datang?
Apa yang akan aku katakan padanya perihal kepergianku malam ini. "Ah,
tapi apa ia akan peduli."
Dari dekat aku melihat Winda sudah mulai terkantuk-kantuk.
posisi duduknya oleng kemana-mana. Ia nampak lelah seharian membantuku
mempersiapkan kepergian ini. Winda teman sekaligus tetangga yang baik. Padahal
kami belum lama bertetangga. Ini karena aku terlalu terbuka menceritakan dia
pada Winda.
"Win, lebih baik kamu pulang. kelihatannya kamu sudah
lelah." "Tidak May, aku akan menemanimu sampai travelnya datang.
" "Percayalah padaku Win, ini bukan terakhir kalinya kita akan
bertemu. Jadi pulanglah." Aku mencoba membujuknya lagi. Kali ini berhasil. Setelah
mengucapkan kata selamat jalan, ia pun pulang ke rumah kontrakanya, mengunci
pintu dengan sempurna. Winda memang selalu begitu.
Tinggallah aku sendiri di temaram ini. Mencoba mereka ulang
banyak hal. Terlalu banyak sejarah yang terukir, namun lebih banyak lagi
kepastian-kepastian yang mengambang, tidak jelas. Waktu menunjukkan pukul
22.30. Tapi travel yang ku pesan tak juga datang. Yang datang malah yang lain. Takdir
benar-benar memberinya kesempatan bertemu denganku untuk terakhir kalinya
sebelum aku pergi.
"Kamu mau pergi kemana?" "Aku mau pulang." "Kembali lagi kan?" Aku menggeleng. Ada kediaman beberapa detik setelah kalimat
terakhirku itu mencuat. Tapi ini rasanya lama sekali, berpuluh-puluh jam. "Ayo bicaralah. Kau terlalu lama diam. Terlalu sering
berpura-pura. Terlalu tidak peka." Gumamku.
"Kenapa? Kamu tidak betah disini?" Lagi-lagi aku menggeleng. Kini
giliran aku yang banyak diam, dan dia yang banyak bicara. Ternyata balas dendam
itu menyenangkan juga.
"May." Kali ini ia menatapku tajam. Tatapan yang sulit untuk ku
artikan. Tapi, jika aku boleh berasumsi, tatapan itu seperti sebuah
pengharapan, keinginan agar aku tidak pergi. Boleh kan sesekali aku gede rasa?
"Kamu tahu kan, aku tidak suka sendirian, dan selama ini
aku merasa sendirian." "Siapa
bilang. Ada aku disini, kamu tidak sendirian." Ia menjawab cepat. Baru kali ini aku
merasa ia cepat menanggapiku. Ia tepat waktu untukku. Ia menatapku lebih tajam
dari sebelumnya.
"Jangan pergi May." Ia berusaha membujukku. Namun aku
masih diam, karena kali ini aku memang harus diam, bukan karena aku ingin
membalas dendam, tapi... Sungguh aku menikmati ia yang tak lagi diam, sungguh
aku tak ingin melewatkan satu hurufpun yang keluar dari pita suaranya untuk tidak
alpa di telingaku.
Goresan-goresan hitam semakin memenuhi malam, namun kali ini tak
membuat wajah legamnya kabur termakan malam. Wajahnya penuh binar harap. Ya
Tuhan, apa itu artinya ia telah kembali setelah sekian lama ia menghindariku?
Saat ini mungkin saja aku mengembalikan kata-katanya malam
itu. Bertanya apakah ia nyaman hanya berdua denganku seperti ini. Tapi sungguh,
aku tidak akan pernah melakukan itu, membalas dendam pada seseorang yang ku
titipkan sebagian hatiku padanya.
Dari kejauhan, nampak sebuah kendaraan tengah merapat di dekat
warung mie biasa tempat aku dan dia nongkrong. Sopirnya keluar, nampaknya
menanyakan sebuah alamat pada penjual mie disana. Apa mungkin itu travel yang
aku pesan?
"Aku harus pergi. Travelku sudah datang." "Jadi kamu benar-benar akan pergi?" Ia menatapku lagi. Kali ini dengan
sedikit berembun di pelupuk mata. Wajah legamnya terlihat memanas, dan.... Ah,
aku tidak mau menatapnya lagi. Menatapnya hanya akan membuatku kehilangan
pendirian, hanya akan membuatku plinplan. Sekarang aku harus harus pergi, aku
tak mungkin membiarkan sopir travel itu mengumpat-ngumpat dalam hati jika harus
menungguku terlalu lama setelah berjam-jam ia terjebak macet.
"May, kamu akan kembali kan?" Lagi-lagi ia mencoba menahanku. Aku
berfikir sejenak. Apa aku harus mengurungkan niatku? Apa ia benar-benar sudah
kembali padaku, menjadi seseorang yang selama ini aku kenal? Apa ia tidak akan
berubah lagi? Bukankah omongan laki-laki itu sesuatu yang hiperbolik, selalu
berlebih dari kenyataannya. Tapi.... Ah, aku butuh waktu. Sungguh butuh waktu. "May..."
Kalimatnya menggantung. "Kamu akan kembali kan?" "Aku tidak tahu..."
Perpisahan cara terbaik mengatasi masalah hatii..
ReplyDeleteCara terbaik tp bersifat relatif..
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir di blog baru saya.. :)